Laporan Terbaru dari AS Buktikan China Genosida Muslim Uighur, Pembunuhan Massal hingga Cegah Kelahiran

10 Maret 2021, 17:45 WIB
Muslim Uighur di Tiongkok. /Dancingturtles.org

PR BEKASI - Sebuah laporan terbaru oleh lembaga asal Amerika Serikat (AS), Newlines Institute for Strategy and Policy menyimpulkan bahwa telah terjadi praktik genosida terhadap muslim Uighur di China.

Hal itu dibuktikan dengan sejumlah data yang diunggah oleh lembaga tersebut pada Senin, 8 Maret 2021 lalu.
Melalui laporan itu, disebut bahwa Presiden China Xi Jinping mulai menghancurkan kelompok muslim Uighur melalui semacam seruan perang rakyat melawan teror di Xinjiang pada tahun 2014 lalu.

Melalui seruan itu, para pejabat China kemudian melakukan penahanan massal, pembunuhan para pemimpin Uighur, sterilisasi paksa, pemisahan anak-anak dari keluarga mereka, dan penghancuran identitas kelompok Muslim Turki, termasuk dengan menghancurkan masjid dan situs suci lainnya.

Baca Juga: Resmi Tunjuk Haru Koesmahargyo sebagai Dirut Baru, BTN Optimistis Capai Target 2021

Baca Juga: Mark Sungkar Terjerat Korupsi, Zaskia Sungkar: Itu Semua Gak Benar, Kebenaran Pasti akan Terungkap

Baca Juga: Anggap Jokowi Buang-buang Waktu Terima Amien Rais, Muannas Alaidid: Beliau Sudah Bukan Siapa-siapa 

Dalam analisanya, lembaga itu melibatkan lebih dari 30 ahli yang memeriksa semua bukti yang dapat dikumpulkan dan diverifikasi.

Termasuk di antaranya komunikasi dengan pemerintah China, kesaksian para saksi, dan analisa yang didapat dari citra satelit.

Melalui bukti yang tersedia, laporan tersebut meyakinkan bahwa China bertanggung jawab melakukan genosida karena terdapat bukti telah melakukan lima tindakan praktik genosida.

Tindakan tersebut seperti membunuh anggota kelompok, menyebabkan luka fisik atau mental serius pada anggota kelompok yang dengan sengaja menimbulkan kondisi kehidupan yang diperhitungkan menyebabkan kehancuran fisik kelompok secara keseluruhan atau sebagian.

Kemudian menerapkan kebijakan dengan maksud mencegah kelahiran dan pemindahan paksa anak satu kelompok ke kelompok lain.

Baca Juga: Sikapi Status Eks Atlet Voli Putri Aprilia Manganang, Menpora: Saya Kira Itu Bukan Kesalahan

Baca Juga: Diikuti Meriam Bellina Cs, Menko PMK Muhadjir Effendy Tinjau Langsung Vaksinasi Warga Lanjut Usia 

Dalam laporan itu, disebutkan bahwa telah terjadi kematian massal dalam upaya interniran atau pengurungan massal.

Sementara para pemimpin Uighur dijatuhi hukuman mati, dan sebagian lainnya dihukum penjara jangka panjang.

"Orang Uighur menderita penyiksaan sistematis dan perlakuan kejam, tidak manusiawi, dan merendahkan martabat, termasuk pemerkosaan, pelecehan seksual, dan penghinaan publik, baik di dalam maupun di luar kamp," kata laporan tersebut, seperti dikutip Pikiranrakyat-Bekasi.com dari Aljazeera, Rabu, 10 Maret 2021.

Selain itu warga uighur yang memiliki usia produktif disebutkan dipindahkan ke tempat lain untuk melakukan pekerjaan fisik secara paksa, serta untuk wanita Uighur secara paksa juga dilakukan tindakan pencegahan kelahiran.

Melalui upaya pencegahan kelahiran pada wanita Uighur itu, artinya mencegah kelahiran massal yang berdampak pada penurunan tingkat pertumbuhan populasi komunitas Uighur.

Baca Juga: Viral PM Thailand Semprotkan Desinfektan ke Arah Wartawan Berkali-kali, Warganet: Sopankah Begitu? 

Sementara itu banyaknya penahanan terhadap para orang tua Uighur, juga berdampak pada anak-anak Uighur yang kemudian dikirimkan ke panti asuhan yang dikelola negara China sehingga menjadi dibesarkan dalam lingkungan berbahasa mandarin.

Meski sejumlah pihak seperti AS dan negara lainnya terus menyorot dan menyatakan kecaman terhadap tuduhan kepada China atas Uighur di Xinjiang hingga kini China terus melakukan bantahannya.

Alasan yang selalu dikemukakan oleh China adalah menyebut bahwa kamp pengurungan bagi Uighur merupakan bentuk pelatihan kejuruan untuk memerangi ekstremisme.

Dalam pernyataannya bulan Februari 2021 lalu kepada Dewan HAM PBB, Menteri Luar Negeri China, Wang Yi membantah telah terjadi genosida, penindasan agama atau kerja paksa di Xinjian, dan meminta agar komisaris HAM PBB membuktikan sendiri dengan mengunjungi Xinjiang.***

 

Editor: M Bayu Pratama

Sumber: Al Jazeera

Tags

Terkini

Terpopuler