China Hancurkan 170 Masjid di Xinjiang, Berdampak Pada Menurunnya Penganut Islam

8 Mei 2021, 06:16 WIB
China telah menghancurkan sekitar 170 masjid di wilayah Xinjiang yang didiami oleh etnis Uighur, hal tersebut menyebabkan jumlah penganut Islam di sana berkurang. /Hwee Young/EPA/EPA

PR BEKASI – Sebuah laporan dari lembaga penelitian Australia mengatakan, kebijakan China untuk menghancurkan masjid di wilayah Xinjiang telah berdampak pada berkurangnya jumlah penganut Islam.
 
Institut Kebijakan Strategis Australia (ASPI) merilis laporan bahwa di tahun 2020, setidaknya sekitar 170 masjid yang hancur telah berhasil diidentifikasi melalui citra satelit, sekitar 30 persen dari sampel yang mereka analisis.
 
Dalam sedekade terakhir, kehadiran jemaah di Masjid Id Kah di kota bersejarah Jalur Sutra Kashgar telah turun dari 5.000 orang menjadi maksimal sekitar 900 orang.

Baca Juga: Ganjar Sambangi Pemudik Dikarantina di Banyumas, Wagiman: Saya Dilaporkan Istri ke Pak RT jadi Dikaratina 

Partai Komunis China tidak lagi mengizinkan anak di bawah umur untuk berpuasa dan pengamat telah melihat lebih dari seratus masjid dihancurkan.
 
Hal tersebut berbanding terbalik dengan sikap Pemerintah China yang sebenarnya membebaskan warga negaranya untuk menganut agama Buddha, Taoisme, atau Kristen, bahkan Islam itu sendiri.

Meskipun terdapat aturan yang mengatur bagaimana warga negara mempraktikkan keyakinan mereka.
 
Pemerintah China membantah tuduhan tersebut, merujuk adanya anggaran pengeluaran pemerintah  untuk perbaikan masjid yang mencakup kipas angin, toilet pembilasan, komputer, dan pendingin udara.

Baca Juga: Kartu Prakerja Gelombang 17 Segera Dibuka, Segera Login dashboard.prakerja.go.id untuk Dapatkan Rp2,4 Juta 

Ali Akbar Dumallah, seorang pria Uighur yang melarikan diri dari China pada tahun 2012, dalam sebuah wawancara di Turk mengatakan bahwa China berusaha untuk menghapus jejak Islam di Xinjiang.
 
“Mereka memiliki rutinitas membuat keributan seperti itu setiap kali mereka membutuhkannya,” katanya, dikutip Pikiranrakyat-Bekasi.com dari Newsweek.
 
“Orang-orang tahu persis apa yang harus dilakukan, bagaimana berbohong, itu bukanlah sesuatu yang baru bagi mereka,” tambah dirinya.
 
Pemerintah China mengadakan kunjungan lima hari ke Xinjiang pada bulan April lalu untuk sekitar selusin koresponden asing.

Baca Juga: Cara Simpel Membuat Kartu Ucapan Hari Raya Idul Fitri 1442 H Unik Pakai Twibbonize 

Hal tersebut merupakan bagian dari kampanye propaganda yang intens untuk melawan tuduhan kejahatan genosida terhadap etnis Uighur.
 
Para pejabat China berulang kali mendesak wartawan untuk menceritakan apa yang mereka lihat, bukan apa yang disebut China sebagai kebohongan politisi dan media Barat yang kritis.
 
Beijing mengatakan, hal tersebut mereka lakukan untuk melindungi kebebasan beragama dan warga negara dapat menjalankan keyakinan mereka selama mereka mematuhi hukum dan peraturan.
 
Dalam praktiknya, China justru membatasi setiap aktivitas keagamaan di berbagai tempat dan instansi.

Baca Juga: Aurel Hermansyah Hamil, Ibunda Atta Halilintar: Alhamdulillah di bulan Ramadhan Dapat Cucu Pertama

Murid Sekolah dasar penganut Islam di Xinjiang dilarang melaksanakan puasa saat di sekolah karena para murid diwajibkan memisahkan kehidupan agama dan pendidikan.
 
Selain itu, para buruh pabrik kapas yang mayoritas etnis Uighur dilarang melaksanakan salat, bahkan saat di asrama sekalipun.
 
“Di dalam pabrik, dilarang. Tapi mereka boleh pulang  atau mereka bisa pergi ke masjid untuk salat,” kata Li Qiang, manajer umum Aksu Huafu Textiles Co.
 
“Asrama adalah tempat istirahat para pekerja. Kami ingin mereka beristirahat dengan baik sehingga mereka dapat menjaga kesehatan mereka,” tambah dirinya.***

Editor: M Bayu Pratama

Sumber: newsweek

Tags

Terkini

Terpopuler