AS Kecam Rezim Korea Utara yang Perlakukan Tahanannya Lebih Rendah dari Binatang

20 Oktober 2020, 09:00 WIB
Ilustrasi bendera Korea Utara.* /Pixabay/Chickenonline./

PR BEKASI - Amerika Serikat (AS) mengecam perlakuan Korea Utara kepada para tersangka yang dinilai kurang manusiawi.

Bagaimana tidak manusiawi, tersangka yang ditahan di Korea Utara dijadikan sasaran upacara penyiksaan, penghinaan dan pelecehan seksual oleh sistem peradilan pidana yang menganggap derajat mereka 'lebih rendah dari seekor binatang'.

Organisasi independen internasional Human Rights Watch (HRW) yang berbasis di AS mengatakan orang-orang yang ditangkap akan dikirim ke penjara praperadilan dan ditempatkan di sel yang sempit dan tidak higienis sambil dipaksa untuk mengaku serta tidak diberi makan dan pakaian yang layak.

Baca Juga: Kritik Pernyataan Marissa Haque, Dewi Tanjung: Apa Hubungannya Omnibus Law dengan Surga?

"Para tahanan benar-benar terasa seperti sampah 'dibuang' karena akan selalu merasa kekurangan makanan kecuali mereka menyogok penjaga agar keluarganya mengirimkan makanan," kata Phil Robertson, wakil direktur HRW Asia.

Laporan tersebut didapatkan dari wawancara dengan 15 perempuan dan laki-laki yang ditahan di negara tersebut, serta dari mantan pejabat yang memiliki pengetahuan tentang sistem peradilan pidana Korea Utara.

Semua orang yang diwawancarai adalah warga Korea Utara yang meninggalkan negara itu mulai dari tahun 2011 sampai tahun ini yang dipimpin oleh Kim Jong-un.

Baca Juga: Diplomat Tiongkok dan Taiwan Adu Jotos di Fiji, Satu Orang Dikabarkan Cedera

"Makannya orang-orang di sana memiliki alasan yang kuat untuk tidak melanggar aturan karena takut ditangkap dan ditahan sebelum persidangan dilakukan," kata Robertson.

"Hanya tersangka yang memiliki koneksi politik atau uang untuk menyogok para polisi, petugas penjara, dan jaksa yang memiliki peluang untuk menyelamatkan diri dan keluarga mereka yang ditahan," ucap Robertson menambahkan.

Sebagian besar para tersangka akan mengalami pelecehan dalam bentuk penyiksaan, pengakuan paksa, dan ruangan yang sempit dan tidak higienis, sementara tahanan perempuan mengalami pelecehan dan penyerangan seksual, termasuk pemerkosaan.

Baca Juga: Bertambah Satu, Nama Presiden Joko Widodo diabadikan Jadi Nama Jalan di UAE

Dikutip Pikiranrakyat-Bekasi.com dari The Guardian, Selasa, 20 Oktober 2020, menurut laporan tentang penyalahgunaan rezim yang didapatnya, penganiayaan terhadap tahanan seperti dipukul dengan tongkat dan ditendang terjadi pada tahap awal penahanan praperadilan.

"Peraturan mengatakan tidak boleh ada pemukulan, tapi kami membutuhkan pengakuan selama penyelidikan dan tahap awal pemeriksaan, jadi kami harus memukul mereka untuk mendapatkan pengakuan," kata seorang mantan polisi kepada HRW.

Mantan tahanan mengatakan mereka dipaksa untuk duduk diam di lantai sel mereka sambil berlutut atau dengan kaki disilangkan hingga 16 jam sehari.

Baca Juga: Soal Kunjungan Prabowo Subianto ke AS, Fadli Zon: Memiliki Arti Penting Bagi Pertahanan Indonesia

Jika ketahuan bergerak sedikit saja, petugas akan langsung memukul menggunakan tangan, tongkat, atau ikat pinggang kulit dan tahanan akan dipaksa untuk mengelilingi ruangan sel tersebut sebanyak 1.000 kali.

"Jika saya atau orang lain ketahuan bergerak, para penjaga akan meminta semua tahanan untuk mengulurkan tangan melalui jeruji sel dan menginjak tangan para tahanan dengan sepatu bot mereka," kata Park Ji-cheol, mantan tahanan.

"Para tersangka diperlakukan seperti 'lebih rendah dari seekor binatang'," ucap Yoon Young-cheol, mantan tahanan lainnya.

Baca Juga: DPR Nilai Setahun Pemerintahan Jokowi-Ma’ruf Berhasil Tanggulangi Masalah Kesehatan dan Ekonomi

Yoon adalah seorang pegawai pemerintah yang berusia 30 tahun ketika dirinya ditangkap oleh polisi rahasia pada tahun 2011, dirinya mengaku dipukuli dengan brutal sebelum dia diinterogasi, dan tidak diberitahu apapun sampai keesokan harinya dirinya dituduh sebagai mata-mata.

"Mereka memukuli dan menendangi saya dengan tangan dan sepatu bot mereka selama 30 menit," ucap Yoon yang tidak dituntut atas tuduhan mata-mata tetapi harus menghabiskan lima tahunnya di kamp kerja paksa untuk dugaan penyelundupan.

Kim Sun-young, mantan pedagang berusia 50 tahun yang melarikan diri dari Korea Utara lima tahun lalu mengatakan, dia telah diperkosa saat diinterogasi di sebuah pusat penahanan dan tidak berdaya untuk melawan.

Baca Juga: Indonesia Impor Vaksin Covid-19 dari 3 Produsen Tiongkok, MUI Belum Bisa Pastikan Kehalalannya

Laporan tersebut mendorong rezim Korea Utara untuk secara terbuka mengakui pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) dan penyiksaan serta perlakuan kejam endemik tidak manusiawi yang merendahkan derajat para tahanan.

HRW juga mendesak Korea Selatan, AS dan negara anggota PBB lainnya untuk secara publik dan pribadi menekan rezim Korea Utara.

PBB juga telah menggugat Korea Utara melakukan pelanggaran HAM yang "sistematis, meluas, dan berat," termasuk penyiksaan, pembunuhan di luar hukum dan menjalankan sistem gulag untuk tahanan politik.***

Editor: Puji Fauziah

Sumber: The Guardian

Tags

Terkini

Terpopuler