PBB Soroti Myanmar karena Upaya Diskriminatif Gelaran Pemilu untuk Sebagian Kelompok Minoritas

29 Oktober 2020, 11:45 WIB
Tangkapan layar Jubir HAM PBB, Ravina Shamdasani. /ANTARA/HO-UNifeed/

PR BEKASI - Myanmar kini menjadi sorotan dari Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) terkait pembatasan kelompok minoritas di negara itu terhadap hak dasar warga negara untuk berpartisipasi menjelang gelaran pemilu yang akan dilaksanakan pada 8 November mendatang.

Pembatasan tersebut adalah tidak digelarnya pemungutan suara di puluhan kota serta penutupan akses internet bagi sebagian warga tersebut, sehingga membatasi warga untuk mendapatkan informasi.

Sementara dikabarkan bahwa hal itu dilakukan oleh otoritas setempat dengan alasan ditemukannya ancaman pemberontakan dari komunitas etnis bersenjata di puluhan kota yang berhubungan dengan penculikan yang terjadi terhadap beberapa orang dari partai politik setempat saat berkampanye.

Baca Juga: Omnibus Law Berdampak Positif bagi Industri Keuangan Syariah, Dosen: Ini Adalah Peluang Bagus

PBB melalui Komisi Tinggi Perserikatan Bangsa-bangsa untuk Hak Asasi Manusia (OHCHR) kini mendesak pemerintah Myanmar untuk segera berhenti melakukan pembatasan hak pilih bagi sejumlah kelompok minoritas, yang salah satunya juga berdampak kepada komunitas muslim Rohingya di Rakhine.

Juru Bicara HAM PBB, Ravina Shamdasani di Jenewa, Swiss pada Selasa kemarin mengatakan bahwa pemerintah Myanmar telah membatasi hak dasar bagi kelompok tertentu sebagai warga negara.

"Undang-undang Kewarganegaraan dan Undang-undang Pemilihan Umum di Myanmar yang diskriminatif, memberi perlakuan berbeda kepada kelas warga yang berbeda, dan ini berdampak pada kelompok minoritas muslim yang sebagian dari mereka tidak mendapatkan haknya sebagai warga negara," ujar Shamdasani dalam keterangan persnya yang disiarkan pada situs resmi PBB, sebagaimana dikutip Pikiranrakyat-Bekasi.com Kamis, 29 Oktober 2020.

Baca Juga: Segera Cari Tempat Lain! Berteduh di Bawah Flyover Bisa Dikenakan Sanksi Denda Hingga Rp500.000

Menjadi sorotan Shamdasani yaitu adanya sejumlah praktik penutupan akses internet di delapan kota di Rakhine dan Chin.

"Penutupan akses internet membatasi kemampuan warga setempat untuk mendapatkan informasi, baik mengenai Covid-19 dan informasi lain terkait pemilihan umum," tuturnya.

Diketahui Komisi Pemilu Myanmar pada pertengahan bulan Oktober telah mengumumkan pemungutan suara tidak digelar di 56 kota, dimana sebagian diantaranya berada di negara bagian Rakhine.

Baca Juga: IPO: Ketidakpuasan Publik Terhadap Penegakan Hukum di Indonesia Capai 64 Persen

Sementara Otoritas pemilu setempat tidak memberi keterangan alasan di balik keputusan tersebut, yang telah mencabut hak politik dan hal pilih sebagian masyarakat.

"Pemutusan akses internet berdampak pada masyarakat adat di Rakhine, Rohingya, Kaman, Mro, Daingnet, Khami, dan Chin," kata Shamdasani.

Namun ditelusuri lebih lanjut, sumber lain menyebut bahwa pembatalan gelaran pemilu di sejumlah wilayah tertentu dikarenakan area tersebut dianggap berbahaya atau kurang aman.

Baca Juga: Resmi Jadi Menaker ASEAN, Ida Fauziyah: Kali Ini Giliran Indonesia

Salah satu penyebabnya adalah terdapat ancaman pemberontakan dari komunitas etnis bersenjata di puluhan kota itu.

Dikabarkan oleh Partai Liga Nasional (NLD) untuk Demokrasi bahwa tiga kandidat anggota legislatifnya diculik oleh sekelompok etnis bersenjata saat melakukan kampanye di Rakhine pada pertengahan bulan.

Sementara itu, keterangan lain dari Tentara Arakan (AA), mengumumkan mereka telah menculik dua perempuan serta seorang pria ketika mereka bertiga melakukan kampanye di Rakhine.

Baca Juga: Sempat Anggap Konspirasi, Pendukung Donald Trump Akhirnya Percaya Covid-19 Setelah Tertular

Ketiga korban penculikan akan ditahan dan diinterogasi sampai jangka waktu tertentu, seperti yang disampaikan melalui pernyataan tertulis yang dilakukan oleh Tentara Arakan melalui siaran internet.

Pihak tentara pemberontak menyatakan kesiapannya membebaskan korban penculikan dengan syarat pemerintah membebaskan para pelajar dan orang yang diklaim oleh tentara pemberontak tidak bersalah, tetapi telah ditangkap aparat keamanan setempat.***

Editor: Ikbal Tawakal

Sumber: ANTARA

Tags

Terkini

Terpopuler