Pada September 2020, pandemi Covid-19 melanda Myanmar, yang sebelumnya dikabarkan bahwa sebagian besar warga selamat.
Sehingga, pemerintah mengunci Yangon, ibu kota komersial, dan daerah lain tetapi bersikeras pemilihan 8 November 2020 akan dilanjutkan.
Selanjutnya, pada 22 September, Thomas Andrews, penyelidik hak asasi manusia PBB untuk Myanmar, mengatakan pemungutan suara akan gagal memenuhi standar internasional karena pencabutan hak ratusan ribu orang Rohingya.
Kemudian dari belasan orang Rohingya yang mencalonkan diri sebagai kandidat dalam pemilu, ada enam ditolak.
Baca Juga: Pemerintahan Resmi Aung San Suu Kyi Dikudeta, PBB Kutuk Keras Aksi Militer Min Aung Hlaing
Pada 17 Oktober, Komisi pemilu Myanmar membatalkan pemungutan suara di sebagian besar Negara Bagian Rakhine, ketika pertempuran dengan AA telah menewaskan puluhan orang dan membuat puluhan ribu orang mengungsi.
"Beberapa daerah tidak dalam kondisi untuk mengadakan pemilihan yang bebas dan adil", kata komisi pemilihan umum.
Pada 3 November, Panglima Militer Myanmar Min Aung Hlaing mengatakan pemerintah sipil membuat "kesalahan yang tidak dapat diterima" menjelang pemilihan, peringatan kedua dalam dua hari tentang potensi bias dalam pemungutan suara.
Aung San Suu Kyi lalu menyerukan ketenangan dalam tulisan di Facebook dan mendesak para pemilih untuk tidak diintimidasi.