Kasus kudeta militer di Myanmar ini dapat dikatakan sebagai bentuk ujian pertama dari janji Joe Biden terkait kolaborasi dengan banyak pihak dalam dunia internasional, terutama pada meningkatnya pengaruh China.
Sikap yang diambil Joe Biden itu berbeda dengan pendekatan yang dijalankan oleh mantan presiden Donald Trump dengan 'America First' nya.
Baca Juga: Ossy Dermawan ke Moeldoko: Jika Tak Bisa Membantu, Janganlah Mengganggu, Apalagi Menyakitinya
Sementara itu pejabat AS mengatakan saat ini pemerintah telah melakukan diskusi internal tingkat tinggi yang mengarah kepada penyusunan tanggapan seluruh pemerintah dan akan berkonsultasi dengan kongres.
Greg Poling dan Simon Hudes dari Pusat Kajian Strategis dan Internasional Washington mengatakan hampir pasti akan ada sanksi baru terhadap mereka yang terlibat dalam kudeta seperti para Jenderal Myanmar.
"Tapi itu tidak mungkin berdampak langsung pada para jenderal," kata mereka.
Sebab menurut mereka tampaknya hanya sedikit dari para jenderal yang berniat berpergian atau berbisnis di Amerika Serikat.
Sebelumnya diketahui bahwa Aung San Suu Kyi dari Partai Liga Nasional untuk Demokrasi menang telak dalam pemilihan umum 8 November di negara itu, tetapi tentara, yang dijamin seperempat kursi di parlemen dan juga memiliki partai proxy berteriak curang.
Sementara pengambilalihan atau kudeta militer pada Senin kemarin dianggap sebagai respons atas kecurangan pemilu, meskipun tidak ada bukti perbuatan salah, namun tindakannya dibenarkan di bawah konstitusi 2008 yang ditulis oleh angkatan bersenjata.***