PR BEKASI – Beberapa pelaut Amerika Serikat (AS) dikabarkan terluka setelah sebuah kapal selam militer AS terlibat dalam tabrakan di Laut Natuna Utara.
Menurut pernyataan Pentagon, beberapa pelaut di kapal laut USS Connecticut terluka setelah insiden di perairan internasional tersebut.
Dalam sebuah pernyataan, kelompok Urusan Publik Armada Pasifik AS mengatakan kapal selam tetap dalam kondisi aman dan stabil.
"Mesin dan ruang propulsi nuklir USS Connecticut tidak terpengaruh dan tetap beroperasi penuh,” katanya, dikutip Pikiranrakyat-Bekasi.com dari Express, Jumat, 8 Oktober 2021.
"Tingkat kerusakan pada sisa kapal selam sedang dinilai. Angkatan Laut AS belum meminta bantuan. Insiden itu akan diselidiki," tambahnya.
Berdasarkan laporan Pentagon, sebelas pelaut AS menderita luka-luka akibat insiden tabrakan tersebut dan dua pelaut dikatakan menderita luka sedang.
Sementara itu, pelaut AS yang lainnya hanya mengalami cedera ringan seperti benjolan, memar, dan luka.
Baca Juga: China Buat Aturan Maritim Baru, Dinilai Picu 'Bom Waktu' Perang Besar di Laut Natuna Utara
Namun, pernyataan yang dikeluarkan oleh Armada Pasifik AS menekankan tidak ada cedera yang mengancam jiwa.
Mereka menambahkan bahwa keselamatan awak tetap menjadi prioritas utama Angkatan Laut AS.
"Kapal selam serang cepat kelas Seawolf USS Connecticut (SSN 22) menabrak sebuah objek saat tenggelam pada sore Sabtu, 2 Oktober 2021, saat beroperasi di perairan internasional Laut Natuna Utara," katanya.
Kapal selam USS Connecticut diketahui ditugaskan ke layanan pada tahun 1998 dengan biaya 6 miliar dolar atau senilai Rp85.3 triliun.
Kapal selam sepanjang 350 kaki tersebut beroperasi di sekitar perairan Laut Natuna Utara.
Amerika dan sekutunya dikabarkan melakukan latihan Carrier Strike Group 21 mereka di wilayah tersebut.
Kapal-kapal dari Inggris, Jepang, Australia, Kanada, dan Belanda dilaporkan terlibat dalam latihan tersebut.
Tabrakan kapal selam di Laut Natuna Utara terjadi selama periode di mana hubungan China-AS terus memburuk.
Ketegangan antara China dan AS terus meningkat sejak kepergian mantan Presiden Donald Trump pada Januari 2021.
Akhir pekan lalu, hampir 40 pesawat militer China, termasuk jet tempur dan pesawat angkut, dilaporkan memasuki Zona Integritas Pertahanan Udara Taiwan.
Menteri Luar Negeri AS, Antony Blinken telah menanggapi ketegangan yang meningkat dengan mengatakan sangat prihatin dengan aktivitas militer provokatif China di dekat Taiwan.
"Seperti yang kami katakan, aktivitasnya tidak stabil. Ini berisiko salah perhitungan dan berpotensi merusak perdamaian dan stabilitas regional,” katanya
"Jadi, kami sangat mendesak Beijing untuk menghentikan tekanan dan paksaan militer, diplomatik dan ekonomi yang diarahkan ke Taiwan," tambahnya.
Menteri Pertahanan Taiwan sejak itu memperingatkan China bisa siap untuk meluncurkan invasi ke Taiwan pada tahun 2025.***