Surat Edaran UMK Jawa Barat Tahun 2020 Dinilai Nyeleneh

- 29 November 2019, 11:13 WIB
Ridwan Kamil
Ridwan Kamil /DOK PR/

CIKARANG (PR)- Pilihan Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil terkait surat edaran tentang Upah Minimum Kota/Kabupaten (UMK) Jawa Barat tahun 2020 mendapatkan kritik.

Kritik tersebut datang dari Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, Obon Tabroni. Dia tidak mengerti terkait keputusan Ridwan Kamil yang malah mengeluarkan surat edaran bukan Surat Keputusan (SK).

Sikap serta kebijakan Ridwan Kamil ini dinilai oleh Obon nyeleneh dan berbeda dengan saerah lainnya. Lebih dari itu, penetapan UMK melalui surat keputusan telah diatur dalam Undang-undang 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.

Baca Juga: Ridwan Kamil Didesak Buruh Segera Tetapkan SK UMK Jawa Barat tahun 2020

“Harusnya memang sesuai dengan Undang-undang Ketenagakerjaan bahwa kewajiban seorang gubernur adalah membuat SK (surat keputusan) berdasarkan rekomendasi dari bupati/walikota, dan itu dilakukan oleh gubernur mulai dari Banten sampai Jawa Timur melakukan hal itu. Gubernur Jawa Barat nyeleneh, malah membuat surat edaran,” kata Anggota Komisi XI ini saat dihubungi, Jumat 29 November 2019.

Diungkapkan Obon, penerbitan surat edaran hanya bakal membuat penetapan UMK tidak memiliki kekuatan hukum yang jelas. Karena tidak ada sanksi yang mengikat, perusahaan tidak diwajibkan mengikuti aturan tersebut.

“Surat edaran dampaknya kurang kuat, beda dengan SK. Kalau bentuknya surat edaran, kamu mau jalanin upah minimum silahkan, tidak dijalani juga tidak masalah,” ucap dia.

Baca Juga: Polisi Buru Pelaku Pembuangan Bayi Perempuan di Bekasi

Terkait banyaknya desakan dari kaum pekerja, Obon menilai wajar. Menurut dia, para buruh tengah memertanyakan alasan dari gubernur menerbitkan surat edaran.

Kemudian jika terdapat perusahaan yang memilih pindah, harusnya tidak menjadi kekhawatiran berlebih.

“Yang teman-teman pertanyakan adalah apasih alasan cara yuridis formal dia buatnya surat edaran bukan surat kepitusan. Kalau alasannya takut perusahaan hengkang, di Bekasi perusahaan hengkang ada, tapi itu tidak menunjukkan ketidakmampuan perusahaan membayar gaji sesuai UMK,” ucap dia.

Baca Juga: Kejaksaan Kabupaten Bekasi Butuh Rumah Penyimpanan Benda Sitaan

Menurut Obon, hengkangnya sejumlah perusahaan tidak hanya didasari tingginya UMK, melainkan terdapat beberapa faktor lain seperti unsur kedekatan lokasi.

Keputusan perpindahan perusahaan pun, lanjut dia, bukan perkara mudah.

Meski di daerah lain upah para pekerja relatif lebih rendah, namun untuk berpindah, perusahaan harus berpikir berulang kali karena berkaitan dengan biaya yang ditimbulkan.

Baca Juga: Gas Elpiji Meledak, Kebakaran Hanguskan 7 Kontrakan dan Satu Keluarga Alami Luka Bakar

“Kan tentu harus ada pembangunan gedungpabrik baru, pengurusan administrasi lainnya. Kemudian yang lebih penting juga, meski di Jabar UMK tinggi tapi kawasan industrinya telah terpadu, di daerah lain belum tentu. Jadi kekhawatiran soal UMK itu tidak serta merta membuat perusahaan pindah,” ucap Obon yang juga Deputi Presiden Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia.

Lebih jauh, jika terdapat perusahaan yang tidak mampu membayar UMK yang ditetapkan, perusahaan dapat mengajukan penangguhan.

Baca Juga: Satgas Mafia Bola Ringkus Enam Orang Terkait Pengaturan Skor Liga 3

“Perusahaan yang tidak mampu tinggal menangguhkan, nanti diaudit kalau memang tidak mampu tinggal upah di perusahaan itu disesuaikan, itu diatur,” ucap dia.

Maka dari itu, dia mendesak gubernur untuk segera mengubah penetapan UMK menjadi surat keputusan.

“Saya mendorong agar bupati dan gubernur mengikuti aturan dan mekanisme yang berlaku. Dalam Undang-undang 13/2003 itu harus SK bukan surat sdaran. Sejak tahun 90-an sudah SK, baru tahun ini saja surat edaran. Dan setahu saya semua daerah menerbitkan SK, cuma Jabar doang yang surat edaran,” ucap dia.***

Editor: Abdul Muhaemin


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x