Tertawa Jokowi Latih Masyarakat Jadi 'Intel Ekstremis', Rocky Gerung: Tetangga Nanti Mata-matai Saya

17 Januari 2021, 12:16 WIB
Rocky Gerung (kanan) yang mengomentari Presiden Joko Widodo (kiri) yang baru saja menekan aturan soal pelaporan ekstremis. /Kolase foto dari Instagram jokowi dan rocky_gerung_official

PR BEKASI - Presiden Joko Widodo alias Jokowi baru saja menekan Perpres Nomor 7 Tahun 2021 untuk mengatur beberapa program pelaksanaan Rencana Aksi Nasional Pencegahan dan Penanggulangan Ekstremisme Berbasis Kekerasan yang Mengarah pada Terorisme (RAN PE).

Salah satu program yang tercantumnya adalah melatih masyarakat untuk melaporkan terduga ekstremis ke polisi. Pemerintah ingin meningkatkan efektivitas pelaporan masyarakat dalam menangkal ekstremisme.

Menanggapi hal tersebut, pengamat politik Indonesia Rocky Gerung mengaku tertawa karena hal semacam ini justru akan memancing banyak orang yang menjadi korban salah lapor.

Baca Juga: Mengharukan! Viral Foto Warga Evakuasi Balita Korban Banjir Kalimantan Selatan Hanya dengan Wajan 

"Jadi tetangga saya nanti memata-matai saya, gitu maksudnya? jangan-jangan saya ekstremis," ucapnya seperti dikutip Pikiranrakyat-Bekasi.com dari kanal YouTube resminya, Minggu, 17 Januari 2021.

Menurutnya, hal ini sangat norak lantaran kata ekstremisme itu dipakai di era Orde Baru, bahkan di zaman kolonial Belanda saat indonesia dijajah.

"Apa yang dimaksud dengan ekstremis? ini cara pemerintah memilih kalimat pun itu betul-betul menghina akal, sekaligus menakut-nakuti tetangga saya," tuturnya.

"Nanti kalau gak ketemu yang ekstremis, maka interpretasi dari aturan itu, kalau dia bukan ekstremis paling tidak dia ETG, ekstremis tanpa gejala," sambungnya.

Baca Juga: Innalillahi, Ify Alyssa Bagikan Kabar sang Nenek Farida Pasha Pemeran 'Nenek Lampir' Meninggal Dunia 

Lebih lanjut, Rocky Gerung menilai, penekanan aturan ini akan sangat berbahaya, karena orang-orang yang benar-benar ekstremis nantinya malah menjadi sangat berhati-hati dalam melakukan operasinya.

"Tapi kalau disuruh mata-matain, maka orang itu justru akan menyembunyikan ekstremismenya, itu kan juga ngaco, jadi ini aturan yang justru membuat mereka yang potensi jadi ekstremis makin berhati-hati, makin susah dideteksi sebetulnya," ucapnya.

Bahkan menurutnya, aturan ini bisa dijadikan alat bagi orang-orang di Tanah Air untuk menjebak orang lain hanya karena ketidaksukaannya.

"Ini kriterianya juga tidak jelas, jadi kesannya ini seperti pasal karet, bisa saja nanti tetangga gak senang dengan tetangga yang lain, kebetulan tetangganya ini mungkin berjenggot dan sebagainya, kemudian nanti dilaporkan juga, ini kan kasihan polisinya, terlalu banyak laporan," tuturnya.

Baca Juga: Ancaman Lahar Gunung Semeru Perlu Diwaspadai, BPBD Jatim: Jauhi Radius 1 Km dari Puncak 

Kemudian Rocky Gerung menjelaskan bahwa keputusan ini terjadi karena pemerintah telah gagal menghasilkan kesejahteraan sehingga mereka mulai berbicara tentang keamanan nasional.

Namun menurutnya, penekanan aturan ini juga justru berkebalikan dengan pelaksanaan protokol kesehatan Covid-19 di Indonesia.

"Dalam keadaan Covid, orang disuruh tinggal di rumah supaya tidak lakukan pertemuan sosial, ini tetangga malah disuruh keluar ngintipin tetangganya, lalu tetangga di sebelahnya juga ngintipin dia, jadi satu RT itu saling ngintip, maka terjadi potensi pertemuan," ucapnya.

"Karena tetangga akan saling berbisik dengan tetangga yang lainnya, lalu kumpul lah, ketemu, saling crosscheck siapa yang ekstremis itu, maka terjadilah kerumunan," sambungnya.

Baca Juga: Layanan Masa Sanggah Kuota Sekolah Diundur, Berikut Jadwal Kegiatan SNMPTN 2021 Terbaru 

Oleh karena itu, Rocky Gerung berkesimpulan bahwa penekanan aturan ini sangat tidak masuk akal dan juga memancing kerumunan.

"Jadi kita mau apa, mau ketawa apa mau anggap aneh ini cara pemerintah berpikir," tuturnya.

Ia mengaku, sudah membaca gejala seperti ini sejak awal, di saat pemerintah menyinggung akan memberangus intoleransi, lalu Mahfud MD yang menyuruh untuk mendengarkan perkataan dari tokoh intelijen AM Hendropriyono.

"Jadi dipersiapkan sebetulnya negara ini untuk menjadi negara polisi, negara polisi itu adalah negara yang terus menerus mengawasi kegiatan masyarakat, karena dianggap seluruh warga negara potensi untuk menjadi kriminal," ucapnya.

Baca Juga: Terpukau dengan Respons Cepat Basarnas dalam Bencana, Panglima TNI Tiba-tiba Sampaikan Hal Ini 

Padahal menurutnya yang diharapkan masyarakat saat ini adalah keakraban, namun negara justru menciptakan keadaan baru yang memungkinkan warga negara saling mencurigai.

"Di mana ada keakraban kalau setiap orang tetangga depan rumah, samping rumah saling mencurigai, ini benar-benar ngaco," tuturnya.

Jika pemerintah mencurigai adanya teroris dan ekstremis, Rocky Gerung menyarankan, mereka seharusnya bekerja diam-diam kemudian mengirim intel sehingga terjadi silence operation untuk meredam potensi kerusakan bukannya sebaliknya.

Namun saat ini, negara menurutnya malah terang-terangan menuduh semua rakyat berpotensi menjadi ekstremis.

Baca Juga: Tutup 1 Februari, Cara Daftar Akun LTMPT SNMPTN 2021 dan Verifikasi Data Siswa di portal.ltmpt.ac.id 

"Karena itu harus saling melaporkan, kan sebetulnya ini tuduhan, peraturan ini muncul dari kecurigaan, kalau dia curiga apa yang mesti dilakukan? Ya intelijen disebar, sekarang setiap orang disuruh jadi intel," ucapnya.

"Jadi negara menuduh bahwa kita semua ini adalah potensial teroris, karena itu harus saling mengintip, ini aneh, udah di luar akal sehat, Pancasila, paradigma keakraban, dan pasti ini bukan cara-cara demokratis," tutupnya.***

Editor: M Bayu Pratama

Sumber: Youtube Rocky Gerung

Tags

Terkini

Terpopuler