Pembubaran FPI Masih Jadi Kontroversi hingga Kini, Refly Harun: Catatan Demokrasi Paling Suram Selama 2020

29 Desember 2021, 11:12 WIB
Refly Harun menyebut pembubaran FPI adalah catatan suram demokrasi. /ANTARA/Wahyu Putro A

PR BEKASI - Ahli hukum tata negara Refly Harun menanggapi pernyataan yang disampaikan oleh Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan (Menkopolhukam) Mahfud MD yang menyebut masyarakat lebih tenang setelah FPI dibubarkan.

Menurut Refly Harun, justru pembubaran FPI oleh pemerintah ini merupakan contoh tindakan otoriter dari penguasa, terlepas dari suka atau tidaknya terhadap organisasi masyarakat (ormas) tersebut.

Refly Harun mengungkapkan pemerintah tidak boleh bawa perasaan (beper) dalam menghadapi ormas Front Pembela Islam (FPI).

"Kita tidak boleh baper, bawa perasaan, kita harus gunakan standar demokrasi bahwa yang namanya ormas itu bisa dibubarkan tapi seharusnya setelah melalui proses," kata Refly Harun.

Baca Juga: Amerika Serikat Catat Jumlah Kenaikan Kasus Covid-19 Tembus Lebih dari 300.000 per Hari Ini

Namun, pembubaran FPI pada Desember tahun lalu ini melalui pemerintah yang membuat Perppu, meskipun hal itu dianggap tidak demokratis.

Selain itu, dalam Perppu itu pun syarat minimal tidak terpenuhi, yakni terkait prosedur peringatan dan yang lain sebagainya seperti tercantum dalam kebijakan berlaku.

"Bahkan peringatan pembubaran FPI itu tidak jelas," tuturnya, sebagaimana dikutip PikiranRakyat-Bekasi.com dari kanal YouTube Refly Harun pada Rabu, 29 Desember 2021.

Namun, dia melanjutkan, dikatakan juga kalau FPI merupakan ormas yang kerap menggunakan kekerasan.

Akan tetapi, masih tidak jelas kekerasan mana yang dirujuk sebagai dasar dari pembubaran ormas tersebut.

Baca Juga: Optimis Timnas Indonesia Bisa Ungguli Thailand, Ridwan Kamil: Saya prediksi Indonesia Menang 2-1

"Kan kita tidak boleh umum sifatnya, tapi tiba-tiba ada alasan lain, dia tidak punya legal standing karena tidak lagi terdaftar," ucapnya.

Karena itu, di satu sisi karena masalah administratif, di sisi lain lantaran tindakan ormas yang menjadi latar belakang pembubaran.

"Tapi di balik itu jangan-jangan soal politik, Wallahua'lam," ujar Refly Harun.

Dia menjelaskan, jika hendak membangun peradaban demokrasi, maka tidak dapat didasarkan atas rasa suka atau tidak suka.

Selain itu, jangan pula berdasarkan ayunan kekuasaan atau dukungan masyarakat, karena dapat membuat terjebak dalam situasi yang pro dan kontra.

Baca Juga: Prediksi Susunan Pemain Timnas Indonesia vs Thailand, Jelang Leg Pertama Final Piala AFF 2021 Pukul 19.30 WIB

"Tapi harus didasarkan pada ukuran-ukuran konstitusi, hak asasi manusia yang sudah merupakan standar universal," katanya.

Contohnya dalam pembubaran ormas, maka harus jelas bentuk permasalahan kesalahan mereka seperti apa, tidak boleh menjadi tidak jelas.

"Jangan sampai kesalahan tidak jelas, tetapi kemudian pemerintah menggunakan tangan besinya untuk membubarkan hanya karena politic motivated," ucapnya.

Maksudnya adalah dimotivasi oleh hal-hal yang bersifat politis dan tidak diketahui apa penyebabnya.

Baca Juga: Shin Tae-yong Ungkap Kondisi Timnas Indonesia Jelang Laga Final Piala AFF: Saya Ingin Suporter Terus Mendukung

Sebelum pembubaran diwarnai dengan kembalinya pendiri FPI Habib Rizieq Shihab yang disambut ratusan ribu massa, lalu kasus pernikahan putri Habib Rizieq serta maulid nabi yang memicu permasalahan.

"Dibilang bahwa mereka melakukan penghasutan, bayangkan, hasutan terhadap kegiatan maulid, Allahu Akbar baru kali ini ya terjadi," tuturnya.

Kemudian kasus tewasnya enam laskar FPI atau pengawal Habib Rizieq, hingga puncak permasalahan ini FPI dibubarkan, dan menurutnya hal itu bukan cara-cara demokratis.

"Kalau saya catatan demokrasi yang paling suram selama tahun 2020 kemarin adalah pembubaran FPI, yang hanya didasarkan pada subjektivitas kekuasaan," tandasnya.***

Editor: Nopsi Marga

Sumber: YouTube Refly Harun

Tags

Terkini

Terpopuler