Soal Kenaikan Tarif BPJS, Pakar Hukum: Harusnya Negara Melihat Kemampuan Masyarakatnya

14 Mei 2020, 10:51 WIB
KARTU kepesertaan BPJS Kesehatan.* /ARMIN ABDUL JABBAR/PR/

PIKIRAN RAKYAT - Tak ada angin tak ada hujan, tiba-tiba Presiden Joko Widodo (Jokowi) menaikkan kembali tarif iuran BPJS Kesehatan ke tarif lama yang tercatat dalam Perpres Nomor 64 Tahun 2020 tentang Perubahan Kedua atas Perpres Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan.

Terhitung mulai 1 Juli 2020 mendatang, kenaikan iuran untuk peserta mandiri segmen pekerja bukan penerima upah (PBPU) dan bukan pekerja (BP) diatur dalam Pasal 34 mulai diberlakukan. Berikut rincian kenaikannya:

1. Iuran peserta mandiri kelas I naik menjadi Rp 150.000, dari awalnya Rp 80.000.

2. Iuran peserta mandiri kelas II naik menjadi Rp 100.000, dari awalnya Rp 51.000.

Baca Juga: Jadwal dan Soal Program Belajar dari Rumah TVRI, Kamis 14 Mei 2020 

3. Iuran peserta mandiri kelas III naik menjadi Rp 42.000 dari awalnya Rp 25.000. Namun untuk kelas III, pemerintah memberi subsidi Rp 16.500 sehingga yang dibayarkan tetap Rp 25.500 hingga akhir tahun 2020.

Sebelumnya, kenaikan iuran BPJS Kesehatan yang terjadi sejak Januari 2020 silam akhirnya dibatalkan oleh Mahkamah Agung (MA).

Namun mulai Juli, sesuai dengan Perpres 64/2020 tarif iuran BPJS Kesehatan kembali mengalami kenaikan.

Pakar Hukum Tata Negara Universitas Parahyangan (UNPAR) Bandung Prof. DR. Asep Warlan Yusuf menilai kenaikan tarif iuran BPJS kesehatan sangatlah dibolehkan terlebih BPJS Kesehatan tengah dalam kondisi defisit anggaran.

Baca Juga: IHSG dan Nilai Tukar Rupiah Masih Dibayangi Sentimen Negatif 

Meski diperbolehkan, kenaikan tarif iuran BPJS Kesehatan harus melihat kondisi atau kemampuan warga.

"Prinsip dasar secara hukum itu apakah dari kenaikan tadi masih sanggup masyarakat untuk memenuhi kewajiban membayar? Apakah kondisi riil masyarakat sudah dipelajari sebagai dasar kenaikannya?," ucap Asep pada Kamis 14 Mei 2020 seperti tikutip Pikiranrakyat-bekasi.com dari PRFM News.

"Kalau tidak dilakukan maka itu bertentangan dengan konstitusi, bertentangan dengan undang-undang yang ada karena justru harusnya negara melihat kemampuan untuk membayarnya karena negara wajib melindungi dan menyediakan anggaran untuk kesehatan," tutur dia.

Lebih lanjut Asep menuturkan bahwa memang secara hukum putusan MA masih membolehkan kenaikan iuran BPJS Kesehatan.

Baca Juga: Tak Kalah dengan WhatsApp, Line Hadirkan Video Call Beranggotakan 200 Orang 

Hanya saja, kenaikan yang dilakukan harus disesuaikan dengan kemampuan warga agar tak menjadi sebuah beban, terlebih dalam undang-undang disebutkan jika pemerintah wajib memberikan perlindungan kesehatan bagi warga.

"Putusan MA itu masih dimungkinkan asal jangan se-ekstrem perpres yang kemarin yang dibatalkan karena dari sisi jumlah kenaikannya sudah sangat besar hampir 100 persen, nah ini yang dianggap oleh MA bertentangan dengan konstitusi," katanya.

Jika masyarakat melihat besaran iuran yang ditetapkan untuk kenaikan dirasa berat, maka tak memungkiri jika Perpres 64/2020 bisa digugat oleh sebagaimana Perpres 75/2019 dulu.

"Kalau ini diabaikan terutama kemampuan membayar oleh masyarakat ya sama dengan Perpres yang sama ada potensi untuk digugat lagi," ucapnya.***

Editor: M Bayu Pratama

Sumber: PRFM News

Tags

Terkini

Terpopuler