Omnibus Law Dituding Rugikan Rakyat, Stafsus Bantah UU Ciptaker Rampas Tanah Rakyat

8 Oktober 2020, 19:10 WIB
Ilustrasi omnibus law. /RRI

PR BEKASI - Kehadiran RUU Omnibus Law telah lama dinilai memiliki berbagai kejanggalan, isu seputar ketidakberpihakan pemerintah terhadap rakyat menjadi awal dari polemik RUU Omnibus Law hingga telah disahkannya menjadi UU.

Salah satu yang menjadi pembahasan atau polemik yaitu terkait perampasan hak rakyat terhadap tanah, atau ketidak adilan yang menyasar kedaulatan masyarakat agraria.

Adanya isu tersebut, Staf Khusus dan Juru Bicara Kementerian ATR/BPN Teuku Taufiqulhadi membantahnya.

Baca Juga: Tahan Laju Massa, Polres Metro Bekasi Cegah 700 Buruh yang Ingin Pergi ke Gedung DPR RI

Taufiq menjelaskan bahwa pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum dalam pasal 121 UU Cipta Kerja sama sekali tidak mengubah makna dan cara penguasaan oleh pemerintah dari UU sebelumnya UU No 2 tahun 2012.

Sebagai contoh pada UU Cipta Kerja, jika ada lahan maupun rumah rakyat yang akan di bangun untuk kepentingan umum, maka akan dilakukan konsultasi publik.

"Jika masyarakat pemilik lahan atau rumah yang bersertifikat itu belum sepakat, maka tidak boleh pemerintah membangun proyek umum apapun di atas lahan rakyat tersebut," kata Taufiq seperti dikutip Pikiranrakyat-Bekasi.com dari Antara, Kamis, 8 Oktober 2020.

Baca Juga: Mustahil Gugat Omnibus ke Judicial Review, Haris Azhar: 3 Hakimnya DPR, 3 Hakimnya Ditunjuk Jokowi

Sementara dalam konsultasi publik, pemerintah akan menggunakan appraisal independen agar pada praktiknya dapat terselenggara secara adil.

Pengadaan tanah seperti harga tanah, bangunan, tanaman tumbuh, penghasilan pemilik tanah, seluruhnya akan dinilai secara adil oleh appraisal independen.

Karena itu, Taufiq menegaskan tidak akan ada penurunan atau pengurangan sistem pada UU kerja. Seperti tanah yang dibayar berkisar antara dua hingga empat kali dari harga pasar.

Baca Juga: Produsen Bisa Deklarasikan Sendiri Produknya Halal, IHW: UU Cipta Kerja Bisa Lemahkan MUI

"Inilah yang memungkinkan kita membangun tol, pelabuhan, bandara, kereta api, dan berbagai infrastruktur lain tanpa gejolak dan tanpa penolakan," kata Taufiq.

Sementara dalam pasal 42 KUH Perdata konsinyasi atas penitipan ganti rugi di pengadilan justru untuk melindungi rakyat yang sedang mengalami perkara.

Artinya, ketika harga sudah disepakati, pemerintah akan menitipkan uang di pengadilan agar jika dikemudian hari terjadi perkara antara pemilik tanah seperti tumpang tindih atas kepemilikan lahan tersebut, maka klaim tersebut harus diselesaikan di pengadilan.

Baca Juga: Obat Covid-19 Steroid Deksametason Resep Donald Trump, Dokter Sebut Bisa Tingkatkan Risiko Kematian

"Agar pembangunan fasilitas umum bisa terus dijalankan, maka UU mengharuskan pemerintah menitipkan uang di pengadilan (konsinyasi)," tutur Taufiq.***

Editor: Puji Fauziah

Sumber: Permenpan RB

Tags

Terkini

Terpopuler