PTUN Tolak Gugatan Surpres RUU Cipta Kerja, Tim Advokasi Penggugat Temukan Banyak Kejanggalan

23 Oktober 2020, 10:37 WIB
Para buruh yang menolak pengesahan UU Cipta Kerja. /RRI

PR BEKASI - Beberapa bulan lalu, Tim Advokasi Penggugat menggugat Surat Presiden (Surpres) Joko Widodo ke DPR terkait pengajuan pembahasan Omnibus Law RUU Cipta Kerja ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta pada 30 April 2020.

Para penggugat yakni Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Konfederasi Persatuan Buruh Indonesia (KPBI), Jaringan Advokasi Tambang (Jatam), dan Perkumpulan Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA).

Gugatan tersebut dibuat karena para penggugat menilai adanya pelanggaran prosedur dan substansi dalam penyusunan draf RUU Cipta Kerja yang dilakukan pemerintah.

Seperti yang diketahui, pemerintah tidak secara aktif melibatkan masyarakat dalam penyusunan draf RUU tersebut.

Baca Juga: Sayangkan Rocky Gerung yang Selalu Konflik dengan Jokowi, Fahri Hamzah Sampaikan Doa Terakhirnya

Selain itu, secara substansi, RUU Cipta Kerja juga dinilai menabrak berbagai peraturan perundang-undangan.

Setelah lima bulan berlalu, kini PTUN menyatakan menolak gugatan tersebut.

Dalam situs sipp.ptun-jakarta.go.id, perkara tersebut diadili oleh Sutiyono selaku Hakim Ketua serta dua hakim anggota yakni Nelvy Christin dan Enrico Simanjuntak.

Adapun sidang putusan digelar pada Senin, 19 Oktober 2020 lalu.

Baca Juga: Geram dengan Penangkapan Massa Aksi, Fadli Zon: Indonesia Bukan Negara Kepolisian!

"Menyatakan gugatan para penggugat tidak diterima (Niet Ontvankelijke Verklaard)," bunyi amar putusannya.

Menanggapi hal tersebut, pengacara publik LBH Jakarta Charlie Albajili yang tergabung dalam Tim Advokasi Penggugat mengatakan, pihaknya menemukan sejumlah kejanggalan dari putusan hakim.

Kejanggalan pertama, putusan tidak dibacakan dalam sidang terbuka untuk umum.

"Petikan amar putusan hanya dicantumkan pada sistem e-court PTUN Jakarta tanpa melampirkan salinan putusan. Hingga kini, para penggugat tidak dapat mengetahui putusan utuh dari PTUN Jakarta serta pertimbangannya," kata Charlie Albajili, sebagaimana dikutip Pikiranrakyat-Bekasi.com dari RRI, Jumat, 23 Oktober 2020.

Baca Juga: Geram dengan Penangkapan Massa Aksi, Fadli Zon: Indonesia Bukan Negara Kepolisian!

Kejanggalan kedua, para penggugat tidak mendapat salinan putusan saat tanggal pembacaan putusan.

"Hal ini sangat merugikan para penggugat sebab tidak dapat mengetahui dasar pertimbangan hakim dalam mengambil putusan," kata Charlie.

Selain itu, Tim Advokasi Penggugat juga mencatat bahwa para penggugat dalam pendaftaran gugatan diwajibkan menggunakan sistem administrasi perkara e-court tanpa dasar hukum jelas.

"Padahal, saat itu kami, para penggugat sudah datang langsung untuk mendaftar secara konvensional," ujar Charlie.

Baca Juga: Warga Jabar, Daerah Ini Akan Diguyur Hujan Diiringi Petir Sejak Sore Hari

Menurut Charlie, jika mengacu pada Peraturan Mahkamah Agung (MA) Nomor 1 Tahun 2019 maupun Surat Edaran MA 1/2020, tidak ada ketentuan mewajibkan pendaftaran gugatan dengan e-court meski dalam situasi pandemi Covid-19.

Sebab menurutnya, penggunaan sistem e-court bahkan hanya dapat dilakukan atas persetujuan para pihak.

"Kejanggalan lainnya, Majelis Hakim tak kunjung memberikan keputusan permohonan penundaan berlakunya Surpres hingga putusan akhir. Padahal, kami juga mengajukan permohonan penundaan berlakunya Surpres sebelum ada putusan hukum berkekuatan hukum tetap," tutur Charlie.

Dia mengatakan, Hakim seharusnya dapat memberikan keputusan penundaan tersebut sejak pemeriksaan dan sebelum pembuktian.

Baca Juga: Resep Olahan Buah Apel yang Cocok bagi Anda yang Sedang Jalani Diet

Tapi saat ini, meski telah diminta berkali-kali, Majelis Hakim terus berdalih akan mempertimbangkannya.

"Menurut para penggugat, Majelis Hakim PTUN Jakarta dapat mencegah pembahasan ugal-ugalan RUU Cipta Kerja di DPR RI dengan penundaan tersebut, namun tidak dilakukan," kata Charlie.

Charlie juga mengatakan, dalam proses persidangan, Presiden RI selaku tergugat menghadirkan Ahli Administrasi Negara, Yos Johan Utama yang juga Rektor Universitas Diponegoro.

Para penggugat menyatakan keberatan dengan hal tersebut, karena Yos masuk Satgas Omnibus Law yang dibentuk Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto.

Baca Juga: Berkat Kopi, Tim Pelajar asal Aceh Buat Bangga Usai Ikut Sumbang Perunggu dari Ajang I-Fest

Keterlibatan tersebut dinilai membuktikan konflik kepentingan ahli dalam memberikan keterangan objektif atas keahliannya.

Namun, saat itu Majelis Hakim menolak keberatan dan mengizinkan ahli memberikan keterangan.

Kejanggalan terakhir, di awal persidangan, tergugat meminta penundaan sidang hingga dua pekan, dengan alasan Jokowi belum memberikan surat kuasa kepada Jaksa Pengacara Negara.

Selain itu, beberapa keputusan penundaan sidang melalui e-court bahkan telah diputuskan hakim tanpa memberikan kesempatan penggugat menyampaikan tanggapan dan keberatan. Kalender persidangan disepakati para pihak pun pernah dikesampingkan.

Baca Juga: AS Jual Rudal Perang ke Taiwan, Tiongkok Naik Pitam: Ini Keliru!

Lebih lanjut, bagi Tim Advokasi Penggugat, fakta bahwa pengesahan UU Cipta Kerja dilakukan sebelum putusan diberikan sangat mempengaruhi pertimbangan hakim.

"Pasalnya, jika UU telah disahkan, maka telah muncul kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam menguji proses penerbitan suatu UU, dan dengan mudah hakim PTUN dapat menolak memeriksa gugatan atas dasar tersebut," ujar Charlie.***

Editor: M Bayu Pratama

Sumber: RRI

Tags

Terkini

Terpopuler