Jokowi Dinilai Layak Pimpin PDIP Gantikan Megawati, Refly Harun Yakin Jokowi Pasti Mau Demi Dinasti Politik

- 5 April 2021, 17:29 WIB
Mantan Staf Ahli Mahkamah Konstitusi, Refly Harun meyakini Jokowi mau jika diminta menggantikan Megawati sebagai ketua umum PDI Perjuangan.
Mantan Staf Ahli Mahkamah Konstitusi, Refly Harun meyakini Jokowi mau jika diminta menggantikan Megawati sebagai ketua umum PDI Perjuangan. /YouTube Refly Harun

PR BEKASI - Presiden Joko Widodo (Jokowi) dinilai pengamat politik Igor Dirgantara sebagai sosok yang paling layak menjadi Ketua Umum (Ketum) Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan ( PDIP ) menggantikan Megawati Soekarnoputri

Menanggapi hal tersebut, mantan Staf Ahli Mahkamah Konstitusi, Refly Harun meyakini Jokowi akan dengan senang hati menerima posisi tersebut demi mensukseskan dinasi politik miliknya.

"Jokowi pasti mau kalau seandainya didaulat sebagai Ketum PDIP karena Jokowi sudah membangun dinasti politik," ucapnya seperti dikutip Pikiranrakyat-Bekasi.com dari YouTube Refly Harun, Senin, 5 April 2021.

"Sudah ada anak dan menantunya yang menjadi kepala daerah, dan barangkali bukan tidak mungkin anak nomor duanya Kaesang akan maju juga dalam Pilkada 2024," sambung Refly Harun.

Baca Juga: Potensi Investasi PLTA Kalbar Dilirik Rusia, Pemda: Selama Untungkan Masyarakat, Tidak Masalah

Baca Juga: Tidak Seperti Tahun Lalu, Pemerintah Kini Tidak Larang Masyarakat Ibadah Ramadhan di Luar Rumah

Baca Juga: BNPB: Siklon Tropis Seroja di NTT Sebabkan 68 Orang Meninggal Dunia

Maka dari itu, masuk akal menurutnya jika Jokowi saat ini memerlukan yang namanya kendaraan partai politik.

"Kalau bisa menguasai PDIP ya bagus, tapi kalaupun tidak ya barangkali dia akan mengambil alih atau didapuk menjadi ketum atau dewan pembina partai lain, di mana partai tersebut bisa menjadi backbone, pendukung dari dinasti Presiden Jokowi," ujarnya.

Jika benar Jokowi melakukan hal tersebut, ini akan menjadi masalah yang secara turun-temurun dilakukan oleh Indonesia.

Inilah, sambung Refly, yang menjadi persoalan di Indonesia, mantan-mantan presiden yang seharusnya menjadi negarawan masih ingin berbasah-basah di dunia politik karena mereka berusaha mendorong putra dan putri mereka untuk menjadi pemimpin di masa yang akan datang.

Hal tersebut menurutnya juga terjadi kepada presiden keenam Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).

"Itulah yang terjadi dengan SBY yang mengambil alih kepemimpinan Partai Demokrat setelah tidak lagi menjadi presiden hingga 2020 yang kemudian diberikan kepada putranya Agus Harimurti Yudhoyono (AHY)," ucapnya.

Ketum NasDem juga menurut Refly Harun akan mengalami dilema yang serupa, yakni melihat NasDem sebagai partai keluarga, begitu juga Prabowo Subianto dengan Partai Gerindra-nya.

"Hanya PKS, PAN, dan Golkar yang barangkali bisa melihat bahwa kepemimpinan partai politik tidak harus dari satu keluarga," tuturnya.

"Tapi sekali lagi ternyata yang menang adalah partai-partai yang memelihara dinasti seperti itu, jadi ada dilema di sini dan tentu tidak mudah bisa kita atasi ini," sambungnya.

Lebih lanjut, Refly Harun menjelaskan soal dilema yang dihadapi partai-partai politik besar di Indonesia, terutama PDIP yang secara formil baru dideklarasikan pada Januari 1999.

Dilemanya adalah, kata Refly, di satu sisi partai politik seharusnya diharapkan bisa memberikan contoh bagi sebuah proses yang demokratis, terutama jika bicara mengenai kepemimpinan partai politik.

Dirinya menyampaikan bahwa PDIP belum menunjukkan hal itu sama sekali, karena sejak tahun 1999 hingga saat ini, sudah 22 tahun kepemimpinan partai tersebut tidak pernah berganti.

"Hanya di tangan satu orang saja yakni Megawati Soekarnoputri dan selalu dengan mekanisme calon tunggal," ujarnya.

"Bahkan ketika ada beberapa kader yang ingin menantang Megawati dalam pemilihan Ketum semuanya mental karena ternyata demokrasi internal partai tidak memungkinkan persaingan itu," sambung Refly Harun.

Itulah sebabnya, ucap Refly, walaupun PDIP telah memenangkan Pemilu tiga kali, partai itu tidak kunjung menjadi partai yang punya kaderisasi kepemimpinan yang demokratis.

"Faktor Jokowi itu sangat besar pengaruhnya bagi kemenangan PDIP di 2014 dan 2019, tapi yang jelas coattail effect terjadi, memang terlihat betul bahwa siapa yang memiliki calon yang kuat, maka partainya akan terdongkrak," tuturnya.

Tetapi seandainya demokratisasi dimulai di tubuh PDIP, Refly Harun kurang yakin apakah partai tersebut akan kuat menerima terpaan dari persaingan internal partai.

"Contoh begini, Megawati sudah begitu kuatnya tetapi Puan misalnya masih belum bisa diandalkan untuk menjadi sosok yang kuat juga karena selama ini Puan itu di bawah bayang-bayang Megawati," ucapnya.

"Apakah PDIP masih akan terus menerima trah Bung Karno, yaitu keturunan biologis Bung Karno sebagai pimpinan partai ataukah bisa orang lain yang memimpin partai. Karena kita tahu PDIP belum punya sejarah karena sejak 1999." sambung Refly Harun.***

Editor: Ikbal Tawakal

Sumber: YouTube Refly Harun


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x