"Kaum buruh yang saat ini berada di posisi sulit akibat Covid-19, kini posisinya kian terpojok," ujar Fadli Zon.
Menurut catatan Fadli Zon, ada beberapa isu yang mengusik rasa keadilan buruh.
Baca Juga: Gelar Demo di Depan 'Rumah' Jokowi, BEM SI Bawa Tiga Tuntutan
Misalnya, skema pesangon kepada pekerja yang di-PHK diubah dari sebelumnya 32 bulan upah, kini menjadi 25 bulan upah. Kemudian, penghapusan UMK (Upah Minimum Kabupaten) menjadi UMP (Upah Minimum Provinsi).
"Padahal, menurut data lapangan, bayaran UMP ini pada umumnya adalah di bawah UMK. Sehingga alih-alih meningkatkan kesejahteraan buruh, Omnibus Law ini belum apa-apa sudah menurunkan kesejahteraan kaum buruh," ujar Fadli Zon.
Fadli Zon mengungkapkan, hak-hak pekerja yang sebelumnya dijamin, seperti hak istirahat panjang, uang penghargaan masa kerja, serta kesempatan untuk bekerja selama 5 hari dalam seminggu, kini tak ada lagi.
Baca Juga: Kaya Akan Nutrisi bagi Tubuh, Berikut 5 Manfaat Jahe yang Harus Anda Rasakan
Secara umum, Omnibus Law ini memang tak memberi rasa keadilan, bukan hanya untuk kaum buruh, tapi juga buat masyarakat secara umum.
Menurutnya, Omnibus Law ini kurang memperhatikan partisipasi dan suara masyarakat. Sehingga bisa memancing instabilitas, masifnya penolakan buruh di mana-mana, termasuk mogok nasional yang dilakukan para pekerja.
Hal itu menunjukkan, Omnibus Law hanya melahirkan kegaduhan saja. Jika terus dipaksakan untuk diterapkan, ujungnya hanya akan merusak hubungan industrial, yang nantinya hanya akan merugikan kaum buruh maupun pengusaha.