Calon Obat dan Vaksin Covid-19, Cara Kerja serta Perkembangannya

2 Juni 2020, 22:44 WIB
ILUSTRASI virus corona.* /FERNANDO ZHIMINAICELA/PIXABAY /

PR BEKASI - Pada Desember 2019, penyakit pernapasan yang disebabkan virus SARS-CoV-2 V atau yang lebih dikenal dengan virus corona dilaporkan pertama kali di Wuhan, Tiongkok.

Penyakit yang disebabkan infeksi virus tersebut, oleh WHO diberi nama Covid-19.

Penyakit infeksi saluran pernapasan itu ditandai gejala utama batuk, sesak nafas dan demam. Beberapa pasien juga mengalami gejala lain seperti mialgia, sakit kepala, sakit tenggorokan, dan diare.

Laporan covid19.who.int menyebut, sudah lebih dari 4 juta kasus terjadi secara global, lebih dari 280.000 orang meninggal dunia. Bertambahnya kasus meningkat secara dinamis setip harinya.

Baca Juga: Sarung Tangan Petugas Rapid Test Dikabarkan Berpotensi Tularkan Virus Corona, Simak Faktanya

Berdasarkan suatu jurnal penelitian, diketahui bahwa lamanya masa inkubasi virus SARS-CoV-2 adalah sekira 5,1 hari.

Masa inkubasi adalah selang waktu antara paparan virus dengan kali pertama timbulnya gejala pada pasien.

Selama waktu tersebut, virus melakukan replikasi/perbanyakan diri dalam tubuh inangnya. Sementara itu, gejala pada pasien yang terinfeksi akan timbul setelah 14 hari.

Oleh karena itu, pemerintah memberikan imbauan bagi masyarakat untuk mengisolasi diri selama 14 hari dengan asumsi bahwa dalam jangka waktu tersebut gejala pada pasien dapat terlihat dan penyebarannya dapat ditekan.

Dalam mencari pengobatan penyakit akibat virus, para peneliti biasanya menggunakan dua pendekatan yakni membuat antiviral yang mampu membunuh atau menghentikan replikasi virus dan membuat vaksin prefentif untuk meningkatkan kekebalan tubuh manusia.

Baca Juga: Pakar-pakar WHO Bantah Klaim Dokter Italia yang Sebut Virus Corona Tidak Lagi Mematikan

Menurut Organisasi Kesehatan Dunia WHO, Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit Amerika Serikat CDC, dan Badan Pengawas Obat dan Makanan Amerika Serikat FDA, saat ini belum ada obat atau vaksin yang efektif dalam pengobatan atau pencegahan penyakit akibat Covid-19.

Dalam jurnal penelitian yang diterbitkan Nature tahun 2020, terdapat puluhan tim peneliti di berbagai belahan dunia yang berusaha menciptakan vaksin Covid-19.

Sebagian besar masih berada pada fase uji praklinik maupun uji klinik. Akan tetapi, negara seperti Tiongkok sudah menyetui beberapa obat untuk digunakan dalam pengobatan Covid-19.

Pemerintah Taizhou di Provinsi Zhejiang, Tiongkok mengumumkan persetujuan untuk obat pertama sebagai antivirus corona.

Favipiravir

Favipiravir adalah obat antivirus spektrum luas yang digunakan dalam terapi influenza dengan mekanisme menginhibisi fungsi dari RdRp (RNA dependent RNA polymerase) milik virus sehingga virus tidak dapat bereplikasi.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan Zhejiang Hisun Pharmaceutical di Tiongkok, favipiravir menunjukkan efektifitas yang baik dalam terapi Covid-19 dengen efek samping yang minor pada 70 pasien di Shenzhen, provinsi Guangdong.

Baca Juga: Di Tengah Perang Lawan Corona, Ebola Jenis Baru Dilaporkan Kembali Muncul di Kongo

Favipiravir sebagai antivirus ditemukan pada saat dilakukan screening chemical library untuk virus influenza.

Karena mekanisme kerjanya yang menghambat RdRp, sementara RdRp memiliki domain yang hampir sama di semua virus RNA, maka obat itu memiliki spektrum kerja yang luas untuk banyak virus RNA.

Favipiravir adalah salah satu dari tiga obat yang menunjukkan profil yang menggembirakan untuk menekan virus SARS-CoV-2 dalam uji klinis awal.

Kloroquin

Dua kandidat obat lainnya adalah adalah kloroquin (chloroquine) dan remdesivir.

Kloroquin yang biasanya digunakan sebagai obat antimalaria kini sedang diuji pada lebih dari 100 pasien di lebih dari sepuluh rumah sakit di Beijing dan Guangdong.

Pada perannya sebagai antivirus, mekanisme kerja kloroquin diduga meningkatkan pH endosom pada sel terinfeksi sehingga mencegah pelepasan virus ke sitoplasma sel. Apabila virus terjebak di endosom maka virus tidak dapat bereplikasi dan akan segera didegradasi.

Penelitian lainnya yang dilakukan di Prancis pada Maret 2020 juga menguji senyawa turunan kloroquin yaitu hidroksikloroquin yang menunjukkan bahwa pasien dinyatakan negatif Covid-19 di akhir terapi.

Akan tetapi, penelitian terkait penggunaan kloroquin sebagai terapi Covid-19 masih perlu dilanjutkan menimbang bahwa kloroquin dapat menimbulkan efek samping yang cukup merugikan.

Remdesivir

Penelitian oleh Institut Kesehatan Nasional Amerika Serikat mengungkap bahwa obat bernama remdesivir dapat mencegah MERS-CoV.

Hal inilah yang menimbulkan harapan efek terapinya pada Covid-19. Sama halnya dengan favipiravir, redemsivir bekerja dengan menginhibisi RdRp pada virus sehingga menghentikan tahap replikasinya.

Pada Mei 2020, fda.gov melaporkan bahwa penggunaan redemsivir sebagai antivirus untuk mengatasi SARS-CoV-2 telah mendapat persetujuan dari badan pengawasan obat dan makanan Amerika Serikat yaitu FDA dengan status emergency use authorization.

Pemberian izin penggunaan redemsivir diberikan karena hasil uji kliniknya yang menjanjikan ditengah situasi darurat pandemi Covid-19.

Redemsivir diberikan pada pasien yang terinfeksi Covid-19 secara intravena di Amerika Serikat. Sementara penggunaan redemsivir di Indonesia masih menunggu izin dari BPOM dan Kementerian Kesehatan.

Peneliti dari Sekolah Farmasi ITB,: Dimas R. Pambudi, Gloria, Ismiana Pajatiwi, dan Tengku Said Sastra mengatakan, pada akhirnya, masyarakat tetap harus sabar menunggu berbagai upaya peneliti dalam mengembangkan obat untuk terapi Covid-19 dan peran pemerintah dalam perkara legalitas obat yang dapat dipergunakan.

Masyarakat juga diminta mengikuti seruan untuk tetap di rumah dan melakukan physical distancing sebagai langkah mencegah penyebaran virus corona.***

Editor: Yusuf Wijanarko

Tags

Terkini

Terpopuler