Harga Rokok Masih terjangkau Meski Cukai Naik, Upaya Pengendalian Tembakau Dikhawatirkan Tak Optimal

- 25 Februari 2021, 09:21 WIB
Pedagang menunjukkan bungkus rokok bercukai di Jakarta.
Pedagang menunjukkan bungkus rokok bercukai di Jakarta. /ANTARA/Aprillio Akbar/ANTARA/

PR BEKASI – Meski Pemerintah Indonesia telah menaikkan tarif Cukai Hasil Tembakau (CHT) dari tahun ke tahun, namun harga rokok di pasaran dinilai masih terjangkau.

Hal tersebut menjadi hambatan untuk menekan prevalensi perokok di Indonesia, khususnya bagi perokok usia anak-anak.

Menurut Ketua Tobacco Control Support Center-Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (TCSC-IAKMI) Sumarjati Arjoso, upaya pengendalian tembakau di Tanah Air pun dikhawatirkan menjadi tidak optimal.

Baca Juga: Tanggapi Fadli Zon Soal Kerumunan Massa Presiden Jokowi, Muannas Alaidid: Maumere Zona Hijau Bos

Baca Juga: Segel Giok Kekaisaran dan Sisa Reruntuhan Pagoda Kembali Ditemukan di Area Situs Kuno Dinasti Qin China

Baca Juga: Sindir Jokowi yang Pancing Kerumunan di NTT, Said Didu: Larang Rakyat Tapi Lakukan Hal yang Dilarangnya

Diketahui, Menteri Keuangan Sri Mulyani telah menaikkan cukai rokok 12.5 persen sehingga harga rokok sedikit naik serta penerimaan APBN naik juga.

"Tetapi itu dari kami, rasanya kurang tinggi karena rokok masih terjangkau," ujar Sumarjati melalui keterangan di Jakarta, Kamis, 25 Februari 2021, dikutip Pikiranrakyat-Bekasi.com dari Antara.

Terlebih pada praktiknya peraturan yang sudah ditetapkan oleh pemerintah untuk harga rokok diduga banyak dilanggar oleh perusahaan yang memproduksi rokok.

Diketahui mereka menjual produknya di bawah batasan harga yang sudah ditetapkan, yang akhirnya menyebabkan harga rokok tidak naik secara signifikan sekalipun cukai rokok telah naik.

Baca Juga: Pelatih Atalanta Kritik Kinerja Wasit yang Dianggap 'Untungkan' Real Madrid

Dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 198 Tahun 2020 disebutkan bahwa harga transaksi pasar (HTP) atau harga di pasaran diatur dengan batas 85 persen dari harga jual eceran (HJE) yang tercantum pada pita cukai.

Pemerintah memiliki target untuk menurunkan prevalensi perokok anak sesuai dengan RPJMN 2020-2024 dari 9.1 persen menjadi 8.7 persen, namun diprediksi akan semakin sulit dicapai ketika di lapangan harga rokok masih terjangkau.

"Kenaikan cukai mungkin menurunkan jumlah rokoknya, tetapi yang merokok tetap banyak," kata Sumarjati Arjoso.

Dia khawatir angka perokok di Indonesia yang terus meningkat tersebut akan mengancam bonus demografi yang dimiliki Indonesia.

Baca Juga: Cek Fakta: Anies Baswedan Dikabarkan Sengaja Palsukan Data Korban Jiwa Banjir Jakarta, Ini Faktanya

"Sebetulnya bonus demografi itu kan sudah ada. Tetapi yang kita harapkan kan sebetulnya ‘window opportunity’, ada peluang keberuntungan dari bonus demografi itu. Itu ada syaratnya yaitu penduduk usia produktif itu berkualitas," katanya..

Sumarjati Arjoso menyayangkan jika kelak penduduk usia produktif alias bonus demografi pada 2030 tidak akan memberikan keuntungan karena sejak anak-anak sudah merokok.

"Mereka tidak produktif, apalagi ada pandemi Covid-19 sekolahnya juga terbengkalai. Jadi bayangkan kualitasnya bagaimana," katanya.

Dia menekankan betapa pentingnya kualitas sumber daya manusia sehingga memahami bahaya rokok perlu terus digencarkan melalui edukasi dan sosialisasi.

Baca Juga: Tak Sesuai Hukum Agama dan Negara, Ghana Tutup Kantor Kelompok LGBT

Selain itu, lanjutnya, pengawasan rokok di pasaran harus terus dilaksanakan oleh Direktorat Jenderal Bea Cukai, baik pusat maupun daerah.

"Sebetulnya untuk pengawasan itu Bea Cukai di pusat, dan tentunya di daerah-daerah juga. Jadi termasuk misalnya dari dinas perdagangan di daerah dan dari pemerintah daerah ikut mengawasi mestinya." katanya.***

Editor: Ikbal Tawakal

Sumber: ANTARA


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x