China Kembangkan Teknologi Pengatur Cuaca di Tengah Krisis Iklim Global, Haruskah Kita Khawatir?

16 Desember 2020, 10:33 WIB
Ilustrasi cuaca. /Pixabay

PR BEKASI - Dalam beberapa dekade terakhir, China kini tengah bereksperimen menciptakan teknologi pengatur cuaca di tengah krisis iklim saat ini.

Namun, menurut para pengamat seperti dikutip Pikiranrakyat-Bekasi.com dari The Guardian, Rabu, 16 Desember 2020, langkah yang diambil negara tirai bambu tersebut adalah sesuatu yang harus dikhawatirkan oleh kita semua.

Mulai dari tahun 2012 hingga 2017, China dilaporkan telah menghabiskan lebih dari 1.34 miliar dolar Amerika atau sekitar Rp18 triliun untuk mengatasi masalah kekurangan air dengan merebut kendali atas elemen-elemen tersebut.

Baca Juga: Mahfud MD Sindir Kasus PKS-Fahri, HNW: Memperjuangkan Keadilan Tak Semudah Tausiyah ya Prof

Tapi apa yang dilakukan sekarang sama sekali dalam skala yang berbeda. Awal bulan ini, dewan negara China telah mengumumkan bahwa pada tahun 2025 akan rampung program modifikasi cuaca yang akan mencakup sekitar setengah dari negara China.

Program tersebut bertujuan untuk mengendalikan hujan dan salju dengan cakupan area sekitar 1.5 kali luas negara India, dengan kata lain, area yang dicakupnya sangatlah besar.

Walaupun ukuran kesuksesan China dalam membuat hujan dan salju masih diperdebatkan oleh para ahli di dunia.

Baca Juga: 'Diledek' Host TV, Cinta Laura: Aku Kecewa, Berita Baik Disampaikan dengan Cara yang Kurang Pas

Awal tahun ini, sebuah studi yang didanai oleh US National Science Foundation menemukan bahwa: "program Cloud Seeding memang bisa meningkatkan hujan salju di area yang luas jika kondisi atmosfernya mendukung."

Ini adalah salah satu studi pertama yang menunjukkan bahwa Cloud Seeding berfungsi, namun teknologi yang digunakannya sangat kompleks dan sangat memakan biaya. Kita tidak bisa begitu saja menghidupkan dan mematikan hujan seperti sebuah sakelar.

Tapi bagaimana nanti kesuksesan China dalam proyek tersebut tidaklah penting, yang benar-benar menakutkan adalah mengapa mereka berniat untuk meningkatkan program modifikasi cuacanya.

Baca Juga: Menkes Terawan Ingatkan Jajarannya Jangan Coba-coba Melakukan Korupsi Anggaran

Ini bukan hanya sekedar sikap tetapi ada unsur keputusasaan. Krisis iklim di Dunia bukan lagi wacana tetapi sudah di depan mata.

Kekurangan air di seluruh belahan Dunia telah mempengaruhi lebih dari 3 miliar orang. Sekitar 1.5 miliar orang terdampak karena kelangkaan air.

PBB memperkirakan, pada tahun 2030, kelangkaan air akan membuat 700 juta orang mengungsi.

Baca Juga: Beredar Iklan Pre-Order Vaksin, Satgas Penanganan Covid-19 Minta Rumah Sakit Hentikan Promosi

Dan jika statistik yang baru disampaikan tersebut tidak membuat anda khawatir, faktanya saat ini bahwa investor telah mulai menanggapi kelangkaan air dengan serius, contohnya awal bulan ini, water futures mulai diperdagangkan sahamnya di Wall Street untuk pertama kalinya.

Ini tentu saja hanyalah salah satu bagian dari banyak masalah soal iklim yang dihadapi dunia. Sudah lima tahun sejak Kesepakatan Paris, dan seperti yang diperingatkan Greta Thunberg baru-baru ini, "kita masih melaju ke arah yang salah"

Sepuluh tahun terakhir adalah yang terpanas dalam sejarah dan setiap tahunnya, tampaknya telah membawa bencana alam yang belum pernah terjadi sebelumnya. 

Baca Juga: Siap-siap Lagi Siang ini, Sejumlah Wilayah di Jakarta, Jabar, dan Banten Akan Dilanda Hujan

Nyatanya para pemimpin dunia masih belum berkomitmen melakukan tindakan untuk mengatasi krisis yang sedang kita hadapi, yang setiap tahunnya kian memburuk. 

Tidak ada keinginan nyata untuk mengubah kondisi dan perilaku manusia saat ini yang kerap merusak bumi.

Sementara di China, sudah ada keinginan berinvestasi ke dalam teknologi baru yang menjanjikan untuk sebuah perbaikan iklim.

Baca Juga: Menlu Nanaia Mahuta Sebut Selandia Baru Bersedia Damaikan Perselisihan China-Australia

Walaupun kita tidak bisa memprediksi masa depan tetapi sepertinya kita akan melihat China dengan karya rekayasa geologi mereka dalam beberapa tahun ke depan.***

Editor: Puji Fauziah

Sumber: The Guardian

Tags

Terkini

Terpopuler