Dituduh Lakukan Genosida ke Rohingya, Berikut Perjalanan Politik Aung San Suu Kyi Sebelum Dikudeta Militer

1 Februari 2021, 19:56 WIB
Pemimpin Myanmar, Aung San Suu Kyi yang pemerintahannya dikudeta militer. /Instagram.com/@aungsansuukyi9

PR BEKASI - Kondisi politik Myanmar semakin bergejolak setelah pemimpin Myanmar, Aung San Suu Kyi dan tokoh-tokoh lain di partai Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD) yang berkuasa telah ditahan pada Senin, 1 Februari 2021 dini hari waktu setempat.

Hal tersebut terjadi setelah beberapa hari ketegangan yang meningkat dengan militer Myanmar dan telah memicu kekhawatiran akan kudeta militer.

Atas peristiwa tersebut, sejumlah negara bersimpati dan mendukung perdamaian antara pemerintah dan militer di negara seribu pagoda itu.

Baca Juga: Filipina Tetapkan Hari Hijab Nasional, Sangcopan: Ini Bukan hanya Sepotong Kain, tapi sebagai Cara Hidup 

Dikutip oleh dari Reuters pada Senin, 1 Februari 2021, berikut adalah garis waktu dari beberapa peristiwa penting dalam situasi politik yang bergejolak di Myanmar.

Pada November 2015 lalu, Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD) memenangkan pemilihan umum dengan telak dan Aung San Suu Kyi mengambil alih kekuasaan dalam peran yang dibuat khusus sebagai penasihat negara.

Selanjutnya, ia berjanji untuk menyelesaikan berbagai konflik etnis di Myanmar, menarik investasi asing, dan melanjutkan reformasi yang dimulai oleh mantan jenderal Thein Sein.

Pada Oktober 2016, Militan Rohingya menyerang tiga pos perbatasan polisi di Negara Bagian Rakhine hingga menewaskan sembilan petugas polisi.

Baca Juga: Jepang Akan Perpanjang Keadaan Darurat, Yoshihide Suga Pertimbangkan 8 Wilayah 

Militer Myanmar kemudian melakukan operasi keamanan hingga mengakibatkan sekitar 70.000 orang meninggalkan negara bagian itu mengungsi ke negara tetangga Bangladesh.

Pada 25 Agustus 2017, Militan Rohingya melancarkan serangan di seluruh Rakhine, memicu kampanye yang dipimpin militer yang mendorong lebih dari 730.000 Rohingya ke Bangladesh.

Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengatakan bahwa kampanye pembunuhan massal, pemerkosaan, dan pembakaran dilakukan dengan "niat genosida", yang kemudian dibantah Myanmar.

Sementara itu, Aung San Suu Kyi mengatakan bahwa "teroris" berada di balik misinformasi terkait konflik Rakhine.

Baca Juga: Satu Kasus Varian Baru Covid-19 Ditemukan di Australia, Perth Terapkan Lockdown Ketat 

Pada Januari 2019 lalu, Pertempuran baru dimulai di Rakhine antara pasukan pemerintah dan Tentara Arakan (AA), sebuah kelompok pemberontak yang mencari otonomi daerah yang lebih besar yang merekrut dari sebagian besar etnis minoritas Buddha Rakhine.

Atas peristiwa tersebut, Aung San Suu Kyi mendesak tentara untuk "menghancurkan" para pemberontak.

Pada 11 November lalu, Gambia, negara mayoritas Muslim, mengajukan kasus genosida terhadap Myanmar di Mahkamah Internasional (ICJ) atas pengusiran Rohingya.

Pada 11 Desember, Aung San Suu Kyi muncul di ICJ di Den Haag dan menolak tuduhan genosida terhadap Rohingya sebagai "tidak lengkap dan menyesatkan" tetapi mengatakan kejahatan perang mungkin telah dilakukan.

Baca Juga: Semua Target di Komedi Sudah Tercapai, Denny Cagur: Enggak Ada Salahnya Gue Mulai Belajar Politik 

Pada September 2020, pandemi Covid-19 melanda Myanmar, yang sebelumnya dikabarkan bahwa sebagian besar warga selamat.

Sehingga, pemerintah mengunci Yangon, ibu kota komersial, dan daerah lain tetapi bersikeras pemilihan 8 November 2020 akan dilanjutkan.

Selanjutnya, pada 22 September, Thomas Andrews, penyelidik hak asasi manusia PBB untuk Myanmar, mengatakan pemungutan suara akan gagal memenuhi standar internasional karena pencabutan hak ratusan ribu orang Rohingya.

Kemudian dari belasan orang Rohingya yang mencalonkan diri sebagai kandidat dalam pemilu, ada enam ditolak.

Baca Juga: Pemerintahan Resmi Aung San Suu Kyi Dikudeta, PBB Kutuk Keras Aksi Militer Min Aung Hlaing 

Pada 17 Oktober, Komisi pemilu Myanmar membatalkan pemungutan suara di sebagian besar Negara Bagian Rakhine, ketika pertempuran dengan AA telah menewaskan puluhan orang dan membuat puluhan ribu orang mengungsi.

"Beberapa daerah tidak dalam kondisi untuk mengadakan pemilihan yang bebas dan adil", kata komisi pemilihan umum.

Pada 3 November, Panglima Militer Myanmar Min Aung Hlaing mengatakan pemerintah sipil membuat "kesalahan yang tidak dapat diterima" menjelang pemilihan, peringatan kedua dalam dua hari tentang potensi bias dalam pemungutan suara.

Aung San Suu Kyi lalu menyerukan ketenangan dalam tulisan di Facebook dan mendesak para pemilih untuk tidak diintimidasi.

Baca Juga: GeNose Mulai Dipakai untuk Deteksi Covid-19 di Tempat Umum, Kenali Bedanya dengan Rapid Test dan Swab PCR 

Pada 9 November, NLD mengeklaim kemenangan gemilang dalam pemilihan parlemen. Juru bicara NLD Myo Nyunt mengatakan mengharapkan NLD melampaui total 390 kursi yang diperolehnya dalam kemenangan telak tahun 2015.

Pada 11 November, Oposisi utama, Partai Pembangunan dan Solidaritas Persatuan (USDP) yang didukung militer, menuntut pemilihan ulang dan menyerukan bantuan militer untuk memastikan keadilan, dengan menuduh ada penyimpangan pemilu.

Pada 13 November, NLD mengatakan akan berupaya membentuk pemerintahan persatuan nasional setelah hasil pemilihan resmi menunjukkan bahwa mereka memenangkan kursi parlemen yang cukup untuk membentuk pemerintahan berikutnya.

Pada 26 Januari 2021, Juru bicara militer Angkatan Darat Brigadir Jenderal Zaw Min Tun memperingatkan pihaknya akan "mengambil tindakan" jika sengketa pemilu tidak diselesaikan.

Baca Juga: Ada Kabar Baik dari Ridwan Kamil untuk Tenaga Kesehatan di Bekasi yang Masih Nganggur 

Serta, menolak untuk mengesampingkan adanya kudeta, meminta komisi pemilu untuk menyelidiki daftar pemilih yang dikatakan mengandung ketidaksesuaian.

Pada 28 Januari, Komisi pemilu menolak tuduhan penipuan suara, dengan mengatakan tidak ada kesalahan yang cukup besar untuk memengaruhi kredibilitas suara.

Pada 30 Januari, Militer Myanmar mengatakan akan melindungi dan mematuhi konstitusi dan bertindak sesuai hukum. Demonstrasi pro-militer diadakan di beberapa kota besar, termasuk Yangon.

Keesokan harinya, tentara "dengan tegas menyangkal" menghalangi transisi demokrasi dalam sebuah pernyataan di Facebook.

Baca Juga: Ridwan Kamil Hari Ini Datang ke Cikarang, Hadiri Peresmian Puskesmas Terpadu 

Pada 1 Februari, Aung San Suu Kyi, Presiden Win Myint, dan tokoh senior lainnya dari partai yang berkuasa ditahan dalam penggerebekan dini hari.

Internet dan beberapa layanan telepon seluler terganggu di Yangon dan tentara terlihat dikerahkan di luar balai kota setelah penangkapan Aung San Suu Kyi.***

Editor: M Bayu Pratama

Sumber: REUTERS

Tags

Terkini

Terpopuler