Joe Biden Janjikan Sanksi Berat ke Myanmar yang Lakukan Kudeta, Tiga Kemungkinan Ini Bisa Berlaku

- 2 Februari 2021, 17:38 WIB
Presiden Amerika serikat, Joe Biden akan memberikan sanksi kepada Myanmar.
Presiden Amerika serikat, Joe Biden akan memberikan sanksi kepada Myanmar. /Spectrum News

PR BEKASI - Pemerintah Amerika Serikat (AS) di bawah kepemimpinan Presiden AS, Joe Biden merespons keras kasus kudeta yang tengah terjadi di Myanmar.

Joe Biden mengajak komisi internasional dan sekutu lainnya untuk mengecam tindakan militer Myanmar saat ini.

Selain itu, Myanmar juga terancam mendapatkan sanksi dari AS. Hal itu dinyatakan langsung oleh Joe Biden.

Baca Juga: Sentil AHY Soal Isu Kudeta, Teddy Gusnaidi: Jadi Politisi Jangan Cengeng, Partai Bukan Perusahaan Keluarga!   

Ia berkata, jika kudeta Myanmar tak segera dihentikan, maka sanksi-sanksi yang sebelumnya dilonggarkan AS bisa ia kembalikan lagi atau ia bisa saja menerapkan sanksi-sanksi baru untuk Myanmar.

Terakhir kali AS memberikan sanksi baru kepada Myanmar, hal itu terjadi di masa mantan Presiden AS, Donald Trump.

Donald Trump menjatuhkan sanksi kepada empat komandan Militer Myanmar. Salah satu komandan itu adalah Jenderal Min Aung Hlaing. 

Menurut mantan penasehat Gedung Putih, Peter Kucik, Joe Biden bisa memberikan sanksi yang sama.

Baca Juga: Namanya Terseret, Marzuki Alie: Daripada Fitnah, Masuk Neraka, Kita Berhitung di Hadapan Allah 

"Joe Biden bisa membuat sanksi baru terhadap Myanmar lewat perintah eksekutif yang mendeklarasikan status darurat nasional atas perkembangan di sana," kata Kucik, dikutip oleh Pikiranrakyat-Bekasi.com dari Reuters pada Selasa, 2 Februari 2021.

Sanksi baru tersebut bisa bersifat personal ataupun ke pemerintahan. Jika bersifat personal, seperti yang diberikan Trump, maka para figur yang dikenai sanksi tidak bisa pergi ke AS ataupun memiliki hubungan bisnis dengan perusahaan-perusahaan di AS.

Tidak hanya itu, aset-aset figur terkait juga akan dibekukan sehingga tak bisa diakses hingga sanksi dicopot.

Sanksi ke pemerintahan bersifat lebih luas. Dengan sanksi itu, maka perusahaan-perusahaan di Amerika dilarang melakukan transaksi ekonomi dengan Myanmar.

Baca Juga: Nasabah Cemaskan Dana Miliknya di Tiga Bank Syariah BUMN Usai Dimerger, Begini Penjelasan Pihak Bank 

Hal itu bisa berupa larangan ekspor ataupun impor. Sebagai contoh pada tahun 2013 silam, AS melarang impor batu giok dari Myanmar.

Pendekatan secara nasional tersebut, dikutip dari Reuters, tidak didukung oleh kalangan pebisnis. Mereka ingin hubungan ekonomi dengan Myanmar tetap terjaga.

Hal tersebut juga diakui oleh seorang advokat bisnis AS di Myanmar yang tak ingin namanya disebutkan.

Bagi para pebisnis, sanksi yang ditargetkan ke individu akan lebih menguntungkan. Sebab, hal itu akan membuat pintu kerja sama ekonomi tetap terbuka.

Baca Juga: Minta Jokowi Abaikan 'Drama' Demokrat dan AHY, Hanura: Biarkan Mereka Main Sinetron Politik 

Sanksi bisa diberikan, misalnya, kepada pejabat yang mengisi pemerintahan baru nanti untuk menyatakan bahwa AS tidak menganggapnya legal. Hal itu sudah dilakukan AS terhadap Venezuela.

Sementara itu, mantan diplomat AS di masa pemerintahan Barack Obama, Daniel Russel merasa pemberian sanksi tidak akan memberikan dampak berarti. Salah-salah malah akan memperlebar jurang kemiskinan di Myanmar.

Salah satunya karena para pejabat yang melakukan kudeta Myanmar tak memiliki kepentingan dengan AS.

Russel berkata bahwa para pejabat militer di Kudeta Myanmar sudah memiliki sokongan dari perusahaan-perusahaan lokal. 

Baca Juga: Dituduh Memanfaatkan Betrand Peto, Sarwendah: Kami Tak Pernah Mengambil Sepeser pun Penghasilan Anak-anak  

Dengan kata lain, lanjutnya, secara finansial, mereka sudah relatif aman tanpa hubungan dengan perusahaan Amerika sekalipun.

"Jadi, menambah sanksi ke Myanmar tak akan serta merta menyelesaikan masalah. Pendekatan diplomatis yang berkelanjutan, baik bilateral atau bersama rekan, lebih dibutuhkan untuk meredam krisis dan membuka kembali jalan ke demokrasi," kata Russel.

Organisasi Non Pemerintah, Human Rights Watch, menyarankan agar sanksi tidak disasarkan ke pemerintahan ataupun individu, tetapi ke perusahaan. Tepatnya, perusahaan-perusahaan yang memiliki afiliasi dengan para pejabat militer di Kudeta Myanmar. 

Dua di antaranya adalah Myanmar Economic Holdings Limited dan Myanmar Economic Corp. Keduanya menguasai bank, tembaga, garmen, dan telekomunikasi.

Baca Juga: Soroti Isu Kudeta Partai Demokrat, Guntur Romli: Ini Bukan Cuma Karakter Baper tapi Potensi Jadi Orang Tiran 

Per berita ini ditulis, Joe Biden belum menentukan sikap. Walau mengecam aksi militer Myanmar, ia belum secara resmi menyatakannya sebagai kudeta. 

Jika resmi dinyatakan sebagai kudeta, maka AS bisa memulai hukumannya dengan memblokir dana bantuan 606.5 juta dolar AS atau lebih dari Rp8.5 triliun untuk Myanmar.

"Apa yang terjadi di sana bisa dikatakan sebagai Kudeta Myanmar. Namun, kami tengah melakukan pengkajian secara legal dan faktual," kata juru bicara Kementerian Luar Negeri mengakhiri.***

Editor: M Bayu Pratama

Sumber: REUTERS


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x