Ilmuwan Temukan Titik Krisis yang Picu Perubahan Iklim Ekstrim 55 Juta Tahun Lalu

- 3 September 2021, 10:14 WIB
Ilustrasi. Para ilmuwan menemukan titik kritis yang memicu perubahan iklim paling ekstrim di Bumi sekitar 55 juta tahun lalu.
Ilustrasi. Para ilmuwan menemukan titik kritis yang memicu perubahan iklim paling ekstrim di Bumi sekitar 55 juta tahun lalu. /PIXABAY

PR BEKASI – Para ilmuwan telah menemukan titik kritis yang memicu periode perubahan iklim paling ekstrim di Bumi sekitar 55 juta tahun yang lalu.

Penemuan terobosan ini menantang asumsi sebelumnya tentang apa yang disebut Paleocene-Eocene Thermal Maximum (PETM) yang merupakan salah satu periode pemanasan global paling ekstrim dalam sejarah Bumi.

Sampai sekarang, para ilmuwan percaya PETM diperburuk oleh aktivitas vulkanik yang intens yang membuang sejumlah besar karbon dioksida (CO2) ke atmosfer.

Baca Juga: China Kembangkan Teknologi Pengatur Cuaca di Tengah Krisis Iklim Global, Haruskah Kita Khawatir?

Namun pemicu di balik periode 150 tahun perubahan iklim ekstrim tersebut tetap menjadi misteri.

Penelitian baru yang dilakukan di University of Exeter kini telah mengidentifikasi kadar merkuri yang meningkat dalam sampel batuan yang dikumpulkan dari Laut Utara.

Merkuri, yang telah terdeteksi sebelum PETM dimulai, mungkin disebabkan oleh aktivitas vulkanik yang ekstensif.

Baca Juga: Krisis Iklim Semakin Serius, Zero Hour: Bukan hanya Virus Corona yang Semakin Mengerikan

Lebih penting lagi, penelitian ini telah mengidentifikasi penurunan tajam kadar merkuri pada tahap awal PETM.

Reservoir karbon adalah penyimpanan alami gas rumah kaca, yang mencakup hutan besar, kehidupan laut, dan bahkan atmosfer dan lapisan di kerak bumi.

Studi ini menunjukkan adanya apa yang disebut titik kritis dalam sistem Bumi yang dapat melepaskan sejumlah besar CO2 ke atmosfer, mendorong efek rumah kaca dan suhu naik.

Baca Juga: Waspada! Perubahan iklim dan Pemanasan Global Memburuk, Bencana Alam Akan Sering Terjadi

Emisi CO2 melalui pembakaran bahan bakar fosil merupakan salah satu penyebab utama perubahan iklim saat ini.

Temuan penelitian ini dapat memberikan petunjuk kepada para ilmuwan bagaimana perubahan iklim akan mempengaruhi Bumi di tahun-tahun mendatang.

Dr Sev Kender dari Exeter, yang ikut menulis studi tersebut, mengatakan bahwa gas rumah kaca seperti metana CO2 dilepaskan ke atmosfer pada awal PETM hanya dalam beberapa ribu tahun.

Baca Juga: Tidak Hanya Jakarta, Kota-Kota di Asia Tenggara Terancam Tenggelam Cepat Akibat Pemanasan Global

"Kami ingin menguji hipotesis bahwa pelepasan gas rumah kaca yang belum pernah terjadi sebelumnya ini dipicu oleh letusan gunung berapi besar,” katanya, dikutip Pikiranrakyat-Bekasi.com dari Express, Jumat, 3 Agustus 2021.

Karena gunung berapi juga melepaskan merkuri dalam jumlah besar, mereka kemudian mengukur merkuri dan karbon di inti sedimen untuk mendeteksi vulkanisme purba.

"Kejutannya adalah kami tidak menemukan hubungan sederhana dari peningkatan vulkanisme selama pelepasan gas rumah kaca," katanya.

Baca Juga: Pemanasan Global Semakin Memburuk, PBB: Manusia Tinggal Miliki Satu Dekade untuk Selamatkan Bumi dari Kiamat

Para peneliti menemukan aktivitas vulkanisme hanya terjadi pada tahap awal PETM, menunjukkan bahwa gas rumah kaca pasti berasal dari sumber lain.

PETM sendiri dianggap sebagai salah satu kasus pemanasan global tercepat dalam sejarah Bumi.

Periode ini terjadi sekitar waktu Greenland yang dikenal sebagai pulau terbesar di dunia bergerak menjauh dari benua Eropa.

Baca Juga: Salju di Pegunungan Andes Menipis, Dampak dari Pemanasan Global

Dalam studi baru mereka, para ilmuwan menganalisis inti sedimen yang dibor dari Laut Utara.

Menurut ahli, aktivitas vulkanisme yang menyebabkan periode pemanasan global terganggu menghasilkan ribuan lubang hidrotermal pada skala yang jauh melampaui apa yang terlihat hari ini.

Sumber tambahan gas rumah kaca mungkin berasal dari lapisan es yang mencair dan metana dasar laut.

Temuan ini dipublikasikan dalam jurnal Nature Communications, dan melibatkan ilmuwan dari British Geological Survey, University of Oxford, Herriot-Watt University dan University of California di Riverside.***

Editor: Puji Fauziah

Sumber: Express


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x