DABS membutuhkan sekitar 90 juta dollar Amerika atau sekitar 1,3 triliun rupiah untuk mengatasi kewajibannya, ujar Safiullah Ahmadzai pada WSJ. Hal ini termasuk utang kepada pemasok listrik negara tetangga, Turkmenistan, Tajikistan dan Uzbekistan.
Seorang anggota Taliban menggantikan Ahmadzai sebagai CEO DABS pada hari Minggu, lapor kantor berita tersebut.
Baca Juga: PM Pakistan Minta AS Segera Mengakui Pemerintahan Taliban di Afghanistan, Cepat atau Lambat
Pada tahun 2020, DABS membayar hingga 280 juta dollar Amerika atau setara dengan 4 triliun rupiah per tahun untuk daya impor, menurut outlet berita Afghanistan TOLO News.
Tetapi Taliban sejauh ini menolak untuk mengizinkan DABS menggunakan 40 juta dollar Amerika atau setara dengan 569 miliar rupiah dalam rekeningnya untuk melunasi krediturnya, ujar Ahmadzai mengatakan kepada WSJ.
"Negara-negara tetangga kami sekarang memiliki hak untuk memutus aliran listrik kami, berdasarkan kontrak," katanya.
Baca Juga: Qatar Sebut Langkah Taliban pada Pendidikan Anak Perempuan di Afghanistan 'Sangat Mengecewakan'
Penerimaan pemerintah Afghanistan telah melambat menjadi menetes sebagai pendiri ekonomi negara itu, sehingga sulit bagi keluarga untuk membayar tagihan DABS mereka, surat kabar itu melaporkan.
Afghanistan telah lama bermasalah dengan pasokan listrik yang berfluktuasi, dengan penduduk di Kabul mengeluh pada bulan Juni tentang tagihan yang tinggi dan hanya memiliki jam layanan yang terbatas per hari, TOLO News melaporkan.***