Resmi Jadi Obat Binaan, Profesor Harvard University Ungkap Dampak Penggunaan Ganja

- 29 Agustus 2020, 14:59 WIB
Kevin Hill, profesor psikiatri di Harvard Medical School dan direktur Divisi Psikiatri Ketergantungan, telah melakukan penelitian terkait ganja.
Kevin Hill, profesor psikiatri di Harvard Medical School dan direktur Divisi Psikiatri Ketergantungan, telah melakukan penelitian terkait ganja. /PIXABAY/

PR BEKASI – Kementerian Pertanian (Kementan) resmi menetapkan ganja sebagai salah satu komoditas tanaman obat binaan.

Keputusan tersebut resmi diumumkan melalui situs resmi Kementan pada Sabtu, 29 Agustus 2020.

"Komoditas binaan dan produk turunananya dibina oleh Direktorat Jenderal Tanaman Pangan, Direktorat Jenderal Hortikultura, Direktorat Jenderal Perkebunan, dan Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan," tulis Kementan yang diunggah di situs resminya pada Sabtu, 29 Agustus 2020, sebagaimana dikutip Pikiranrakyat-Bekasi.com dari situs Kementan.

Baca Juga: Dinilai Berdedikasi Tinggi, Bupati Bekasi Dianugerahi Lancana Darma Bakti

Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo menetapkan kebijakan tersebut dalam Keputusan Menteri Pertanian Republik Indonesia Nomor 104/KPTS/HK.140/M/2/2020 tentang Komoditas Binaan Kementerian Pertanian. Ia menandatangani keputusan itu sejak 3 Februari 2020.

Komunitas Lingkar Ganja Nusantara (LGN) mengapresiasi kebijakan tersebut. Melalui unggahan dalam akun Instagramnya (@lgn_id) pada 29 Agustus 2020, LGN menyatakan bahwa kebijakan tersebut harus didukung dengan mempublikasikan manfaat ganja untuk kesehatan ke masyarakat secara masif.

Sementara itu, dikutip dari situs resmi Harvard University, menyatakan bahwa ganja memiliki efek positif dan efek negatif tergantung pada dosis pemakaian, riwayat penyakit, dan sebagainya.

Baca Juga: Viral Jasad ABK Indonesia Dihanyutkan ke Laut, Kemlu Akhirnya Berhasil Bantu Pemenuhan Hak Korban

Kevin Hill , profesor psikiatri di Harvard Medical School dan direktur Divisi Psikiatri Ketergantungan, telah melakukan penelitian terkait ganja.

Cannabidiol (CBD) adalah senyawa kimia dalam ganja yang efektif mengobati beberapa sindrom epilepsi pada anak-anak, seperti sindrom Dravet dan sindrom Lennox-Gastaut (LGS).

CBD jugamampu mengurangi tremor pada penyakit Parkinson, HIV, sindrom iritasi usus besar, dan radang usus.

Baca Juga: Kenang Chadwick Boseman, Simak Rekam Jejaknya di Dunia Industri Film Hollywood

Sementara itu, Tetrahidrokanabinol (THC) adalah senyawa kimia dalam ganja yang dapat membuat membuat penggunanya mabuk, kecanduan, dan mengalami ilusi. Ganja yang komponen THC-nya lebih tinggi membawa dampak yang buruk untuk tubuh.

"Ada perbedaan antara ganja medis dan ganja rekreasi," ucap Kevin.

Ganja rekreasi adalah ganja yang kadar THC-nya lebih tinggi. Selain itu, tujuan penggunannya pun hanya untuk kebutuhan konsumsi belaka tanpa ada alasan medis sama sekali.

Baca Juga: Pandemi Tak Kunjung Usai, Denada Beri Saran bagi Kaum Rebahan untuk Tetap Produktif

Dalam penuturan Kevin, ganja rekreasi yang dikonsumsi secara teratur memiliki efek samping terhadap penggunanya.

Efek tersebut berdampak pada daya ingat, kemampuan kognitif, emosi, dan organ reproduksi.

Adapun penggunaan ganja masih diatur UU Nomor 35/2009 juga melarang konsumsi, produksi, hingga distribusi narkotika golongan I.

Baca Juga: Sinopsis Come and Find Me, Ungkap Keberadaan sang Kekasih Miterius yang Tayang Malam Ini

Artinya, penggunaan ganja rekreasi atau untuk kebutuhan konsumsi tidak boleh dilakukan di Indonesia.***

Editor: Ikbal Tawakal

Sumber: Harvard University


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah