Menurut Pengacara Ghulam Mustafa Chaudhry, Muhammad Saeed Khokher, penggugat dalam kasus ini, membantah ingin mengubah agama Asif Parvaiz.
"Dia melakukan pembelaan diri setelah adanya fakta, karena dia tidak memiliki pertahanan yang lainnya. Itu sebabnya dia menuduh penggugat," kata Pengacara Ghulam Mustafa Chaudhry.
Chaudhry mengatakan, ada beberapa karyawan non-muslim lainnya di pabrik itu, tetapi tidak ada yang menuduh Muhammad Saeed Khokher melakukan dakwah, dan pemaksaan untuk pindah agama kepada karyawannya.
Baca Juga: Bawaslu Tak Segan Beri Sanksi Tegas bagi Bapaslon Pilkada yang Langgar Protokol Kesehatan
Undang-undang penistaan agama memang dikenal ketat di Pakistan. Pakistan menetapkan hukuman mati untuk siapa saja yang melakukan kejahatan dengan menghina Nabi Muhammad, dan hukuman ketat untuk pelanggaran lain seperti menghina Islam, Al Qu'ran, atau tokoh-tokoh Islam.
Menurut Komisi Amerika Serikat untuk Kebebasan Beragama Internasional (USCIRF), saat ini setidaknya ada 80 orang dipenjara di Pakistan karena kejahatan penistaan agama, dengan setidaknya setengah dari mereka menghadapi hukuman seumur hidup atau hukuman mati.
Di negara di mana 98 persen populasinya menganut Islam, Pakistan menerapkan undang-undang penistaan agama yang sangat ketat untuk warganya. Tetapi undang-undang tersebut secara tidak langsung telah meresahkan warga minoritas di Pakistan.
Baca Juga: Kerap Kritik Vladimir Putin, Alexei Navalny Tewas Diracun di Bandara, G7 Desak Rusia Usut Tuntas
Dalam salah satu kasus penistaan agama paling terkenal dalam sejarah negara itu, Mahkamah Agung memutuskan pada Oktober 2018 bahwa seorang wanita, Aasia Bibi, telah dijebak dalam kasusnya, dan hukum tidak memiliki pengawasan yang memadai untuk tuduhan palsu.
Aasia Bibi pun melarikan diri dari Pakistan pada 2019 karena merasa hidupnya terancam.