"Penutupan akses internet membatasi kemampuan warga setempat untuk mendapatkan informasi, baik mengenai Covid-19 dan informasi lain terkait pemilihan umum," tuturnya.
Diketahui Komisi Pemilu Myanmar pada pertengahan bulan Oktober telah mengumumkan pemungutan suara tidak digelar di 56 kota, dimana sebagian diantaranya berada di negara bagian Rakhine.
Baca Juga: IPO: Ketidakpuasan Publik Terhadap Penegakan Hukum di Indonesia Capai 64 Persen
Sementara Otoritas pemilu setempat tidak memberi keterangan alasan di balik keputusan tersebut, yang telah mencabut hak politik dan hal pilih sebagian masyarakat.
"Pemutusan akses internet berdampak pada masyarakat adat di Rakhine, Rohingya, Kaman, Mro, Daingnet, Khami, dan Chin," kata Shamdasani.
Namun ditelusuri lebih lanjut, sumber lain menyebut bahwa pembatalan gelaran pemilu di sejumlah wilayah tertentu dikarenakan area tersebut dianggap berbahaya atau kurang aman.
Baca Juga: Resmi Jadi Menaker ASEAN, Ida Fauziyah: Kali Ini Giliran Indonesia
Salah satu penyebabnya adalah terdapat ancaman pemberontakan dari komunitas etnis bersenjata di puluhan kota itu.
Dikabarkan oleh Partai Liga Nasional (NLD) untuk Demokrasi bahwa tiga kandidat anggota legislatifnya diculik oleh sekelompok etnis bersenjata saat melakukan kampanye di Rakhine pada pertengahan bulan.
Sementara itu, keterangan lain dari Tentara Arakan (AA), mengumumkan mereka telah menculik dua perempuan serta seorang pria ketika mereka bertiga melakukan kampanye di Rakhine.