Ondel-ondel Dulunya Genderuwo, Berubah Berkat Benyamin Sueb

- 1 Februari 2020, 13:30 WIB
Ondel-ondel.*
Ondel-ondel.* /AKBAR NUGROHO GUMAY/ANTARA/ANTARA FOTO

PIKIRAN RAKYAT – LAGU Ondel-ondel yang di­populerkan seniman Betawi Benyamin Sueb menggambarkan atraksi ondel-ondel yang marak ditampilkan di lingkungan warga Betawi, termasuk Bekasi yang sebagian warganya merupakan orang Betawi.

Berkat lagu itu, atraksi arak-arakan sepasang boneka orang besar khas Betawi ini dikenal sebagai ondel-ondel hingga sekarang.

Sebelum Benyamin menyanyikan lagu tersebut pada 1971, ondel-ondel disebut sebagai barong.

Budayawan Bekasi Kong Guntur Elmogas mengatkan, awalnya ondel-ondel disebut barong karena ter­pengaruh atraksi barongsai yang biasa diperagakan etnis Tionghoa. Namun, di awal kemuncul­annya, ondel-ondel pun tak dibuat untuk dipertontonkan.

Baca Juga: Khawatir Turut Terlular Virus Corona, Mahasiswa Asal Indonesia di Wuhan Butuh Masker dan Makanan

Baca Juga: Tragedi Muslim Rohingya, PBB Turun Tangan

Ondel-ondel.*
Ondel-ondel.*

”Ondel-ondel yang muncul sejak zaman animisme merupakan perwujudan sepasang genderuwo,” ucap Kong Guntur dalam sebuah perbincangan.

Sepasang ondel-ondel biasanya dipajang di depan rumah. Pema­sangannya dimaksudkan untuk mengusir roh halus jahat yang ber­niat mengganggu sang pemilik rumah.

Orang-orang Betawi zaman dulu sangat mempercayai kesaktian ondel-ondel dalam menjaga rumah sehingga sepasang ondel-ondel penjaga pasti hadir di pintu depan.

”Jadi, dulu itu ondel-ondel ditakuti apalagi oleh anak kecil. Nama­­­nya juga perwujudan genderuwo,” ucapnya.

Baca Juga: Wabah Virus Corona Masih Melanda Tiongkok, PBSI Tarik Keikutsertaannya dalam Kejuaraan Asia 2020

Seiring masuknya ajaran agama ke Indonesia, termasuk juga di tempat warga Betawi tinggal, kebiasaan memajang ­ondel-ondel di depan rumah mulai ditinggalkan.

Lambat laun diyakini bahwa itu adalah per­buatan musyrik karena meyakini ke­kuatan ­selain Allah.

Akan tetapi, meski telah hilang ”kesaktiannya”, ondel-ondel tak lantas punah begitu saja. Ondel-ondel tetap eksis dengan peran barunya, yakni sebagai atraksi tontonan warga.

Harus menyeramkan

Boneka ondel-ondel selalu dihadirkan sepasang, yakni ­ondel-ondel laki dan ondel-ondel bini.

Ondel-ondel laki memiliki wajah ber­warna merah, sedangkan ondel-ondel bini mukanya berwarna putih.

”Mau yang laki, mau yang bini, mukanya dibikin serem. Matanya harus melotot,” katanya.

Efek lain untuk memperlihatkan kesan seram ialah dimuncul­kan­nya ­”caling” atau taring tajam yang menyembul dari mulut ­ondel-ondel.

Selain itu, ondel-ondel juga digambarkan memiliki rambut ”jebrig” yang menjingkrak ke atas.

Biasanya rambut ondel-ondel terbuat dari bahan ijuk meski sekarang kerap dimodifikasi dengan lidi yang dililit kertas warna-warni.

Kostum yang membalut boneka ondel-ondel biasanya senada. Semula identik dengan kain sarung bermotif kotak-kotak.

Sebagai pelengkap, ondel-ondel juga suka dipasangi kalung besar serupa tasbih. Namun, kini kostumnya lebih variatif sesuai dengan keperluan acara.

Detail lain boneka ondel-ondel ialah bagian telapak tangannya yang berbahan tripleks tetapi dibuat menyerupai tangan manusia yang terdiri atas lima jari.

”Jadi kalau ondel-ondel berputar-putar, penonton yang deket suka ada saja yang kena ’tabok’ tangan ondel-ondel. Sekarang sih banyaknya tangan ondel-ondel sudah diganti pakai centong nasi,” kata Kong Guntur.

Biasanya, ondel-ondel ”ditanggap” saat akan ada pesta. Ondel-ondel yang semula hanya dijadikan pajangan, lantas digerakkan oleh orang yang masuk ke dalam rangka ondel-ondel. Dengan iringan musik khas Betawi, ondel-ondel pun berjoget-joget.

”Tidak jarang orang yang ada di dalam rangka ondel-ondel sampai ’kemasukan’ (roh halus). Gerakannya pun jadi liar,” katanya.

Melihat atraksi ondel-ondel yang demikian, biasanya warga sekitar menyemut di sekitarnya untuk melihat lebih dekat. Tak terkecuali para bocah cilik yang bercampur rasa takut sekaligus penasarannya pada aksi ondel-ondel.

Punya variasi atraksi

Variasi atraksi ondel-ondel sedikit berbeda manakala sang peng­gelar pesta merupakan orang kaya.

Ondel-ondel biasaya diarak ­keliling kampung sambil membagi-bagikan uang receh hingga mem­buat warga sekitar yang dilintasi berebutan untuk mendapat­kannya.

Kebiasaan seperti ini, disebut Kong Guntur, berlangsung pada dekade 1940-1950-an.

Dewasa ini, atraksi ondel-ondel kembali berubah kecenderung­annya. Tak sekadar tampil di pesta-pesta, ondel-ondel bahkan bisa lebih sering ditemukan sehari-hari.

Hal ini memungkin­kan karena ondel-ondel kini sering diarak keliling kampung atau kompleks.

Menanggapi kecenderungan ini, Kong Guntur menilai hal tersebut memang tidak salah dilakukan.

”Tetapi ada cara yang lebih elok kalau memang niatnya ingin melestarikan ondel-ondel. Sebab kalau diarak untuk ngamen kayak sekarang, ondel-ondel jadi ­rendah kesannya,” ucapnya.

Salah satu upaya pelestarian yang bisa dilakukan ialah dengan menggelar lomba.

Kong Guntur sendiri pernah tiga kali didapuk menjadi juri lomba ondel-ondel. Poin penilaiannya beragam.

Mulai dari tampilan ondel-ondel lengkap dengan kostumnya, atraksi ­ondel-ondelnya, hingga musik ­pengiringnya.

”Antusiasme pesertanya baik, ini tanda kalau ondel-ondel memang banyak penyukanya,” katanya.***

Editor: Yusuf Wijanarko


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah