PR BEKASI - Chusnul Mar'iyah, dosen Ilmu Politik Universitas Indonesia (UI) menyoroti ucapan Kepala Kantor Staf Kepresiden Moeldoko yang tiba-tiba menyerobot kursi pucuk Partai Demokrat.
Bukan mengakui kesalahan, bahkan pidato pertama Moeldoko sebagai Ketua Umum yang mengatakan bahwa aksi yang dilakukannya sebagai bagian 'dalam rangka menjaga demokrasi' menuai kecaman banyak pihak.
"(Dia) ngerti demokrasi enggak si? 'Tanpa rasa malu, tanpa rasa canggung, tanpa beban' ditambah lagi bagi saya tanpa etika," katanya.
Dia menyatakan bahwa sebagaimana yang dikatakan oleh pengamat politik, Rocky Gerung, berpolitik itu ada etikanya.
Baca Juga: Terekam Kamera CCTV, Aksi Pemuda yang Gantung Diri di Pohon di Bekasi Utara
Baca Juga: Patung 'Buddha' Trump Banyak Dijual di e-Commerce China: Make Company Great Again
Disampaikannya, dalam berkompetisi demokrasi itu tidak diperbolehkan menggunakan kekuatan kekerasan.
Sebab itu, Chusnul mengajak berbagai pihak berintrospeksi bahwa bisa dilihat apakah kondisi sekarang merupakan salahnya Moeldoko, salahnya Istana, atau salahnya Moeldoko dan Istana, serta salah dari mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) juga.
"Karena bukan berarti tidak ada konflik internal partai, kan memang ada, tapi bertemu kepentingannya. Bagaimana menggeser oposisi ini, jadi jargon Partai Demokrat 'Berkoalisi dengan Rakyat', itu menakutkan bagi Istana," ucap Chusnul Mar'iyah.
Kondisi saat ini, menurut Chusnul, seperti yang terjadi pada masa Orde Baru bahwa partai politik yang difungsikan hanya tiga saja.
Partai pertama adalah partai pemerintah yakni Partai Golkar, lalu kemudian yang kedua semua Partai Islam difungsikan menjadi satu ke PPP, serta Partai Nasionalis dan semua partai non-Muslim ditempatkan di PDI.
Dikatakan Chusnul Mar'iyah, kalau itu fungsi Partai Politik di tahun 1973, jika berbicara ingin mencari kondisi yang mirip dengan saat ini.
Dia menyampaikan, jika mengikuti apa yang dikatakan oleh Greg Fealy, salah seorang Profesor dalam Ilmu Politik dan Sosial, bahwa rezim saat ini represif terhadap kelompok Islamis.
"Kalau saya ngomong kan enggak dipercaya, kalau orang bule ngomong langsung dipercaya padahal tahun 2014 tuh saya jadi pembicara di NU, saya jelaskan semua kondisi dan sebagainya," kata Chusnul, sebagaimana dikutip PikiranRakyat-Bekasi.com dari kanal YouTube Realita TV pada Sabtu, 13 Maret 2021.
Akan tetapi, diungkapkannya kalau dia mendapat tanggapan yang sinis ketika mengutarakan hal itu, tetapi yang terjadi sekarang adalah setiap orang seakan berbondong-bondong membuat buku.
Baca Juga: Soroti Kisruh Partai Demokrat, Pengamat: Negara Tak Boleh Tersandera Agenda Politik Pribadi
Salah satunya adalah ada yang menulis dengan judul "Democracy on Sale", padahal saat itu pun pernah Chusnul sampaikan.
Chusnul melanjutkan, kondisi yang sama dengan Orde Baru lainnya adalah keadaan ketika oposisi dikebiri atau dihabisi satu persatu.
Padahal, dia menambahkan, rezim saat ini sudah memiliki basis dukungan yang luar biasa di parlemen karena merupakan mayoritas suara.
Namun, ternyata masih kurang dan akhirnya memecah-mecah partai.
"Jadi oposisi dihabisi, tidak hanya political society-nya yaitu Partai Politik tapi juga civil society, dari penangkapan HRS kemudian Syahganda dan kawan-kawan, KAMI di TO-kan, target operasi," ujarnya.
Sehingga cara pemerintah saat ini yang dinilainya seperti 'menghabisi' oposisi. Bahkan dia menjelaskan, kondisi saat ini seperti kembali lagi ke model otoritarian rezim era Orde Baru atau kepimpinan Soeharto.***