Tak Hanya Merugikan Buruh, F-PKS: RUU Ciptaker Juga Berpotensi Timbulkan Kerusakan Lingkungan Hidup

4 Oktober 2020, 13:14 WIB
Anggota Baleg DPR RI Fraksi PKS Ledia Hanifa Amaliah, Instagram/@ledia_hanifa /

 

PR BEKASI – Selain Fraksi Partai Demokrat, Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) DPR RI juga ikut menolak penetapan Rancangan Undang-Undang (RUU) Omnibus Law Cipta Kerja (Ciptaker).

Penolakan tersebut diberikan dalam pengambilan keputusan tingkat I atas hasil Pembahasan RUU tentang Cipta Kerja oleh Badan Legislasi (Baleg) DPR RI.

Ledia Hanifa Amaliah selaku anggota Baleg DPR RI Fraksi PKS mengatakan bahwa penolakan fraksinya tersebut telah berdasarkan dari berbagai pertimbangan.

Baca Juga: Jokowi Sebut Tak Perlu Sok-sokan Melockdown Provinsi: Karena Akan Mengorbankan Kehidupan Masyarakat

“Berdasarkan berbagai pertimbangan yang kami sampaikan, Fraksi PKS menolak RUU Cipta Kerja untuk ditetapkan sebagai Undang-Undang,” tuturnya seperti dikutip Pikiranrakyat-Bekasi.com dari Antara.

Menurut Ledia Hanifa Amaliah, Fraksi PKS menyadari bahwa substansi pengaturan yang terdapat dalam RUU Ciptaker memiliki implikasi yang luas terhadap praktik kenegaraan dan pemerintah di Indonesia.

Oleh karena itu, diperlukan pertimbangan yang mendalam apakah aspek formil dan materil dari Undang-Undang tersebut sejalan dengan koridor politik hukum kebangsaan yang disepakati bersama.

Baca Juga: Tolak RUU Ciptaker Dibawa ke Rapat Paripurna, F-Demokrat: Pemerintah Terlalu Memaksakan Kehendak!

Ledia Hanifa Amaliah menjelaskan ada beberapa catatan Fraksi PKS DPR RI terkait RUU Ciptaker, yakni pertama Fraksi PKS memandang pembahasan RUU itu pada masa pandemi Covid-19 menyebabkan terbatasnya akses dan partisipasi masyarakat.

akses partisipasi masyarakat terbatas dalam memberikan masukan, koreksi, dan penyempurnaan terhadap RUU Cipta Kerja.

“Kedua, banyaknya materi muatan dalam RUU ini semestinya disikapi dengan kecermatan dan kehati-hatian,” ucap Ledia Hanifa Amaliah.

Baca Juga: Diminta untuk Membela Negara Melalui Pemberitaan, Terawan: Pers adalah Pahlawan Pandemi Covid-19

“Pembahasan DIM (Daftar Inventaris Masalah) yang tidak runtut dalam waktu yang pendek, menyebabkan ketidakoptimalan dalam pembahasan. Padahal, Undang-Undang ini akan memberikan dampak luas bagi banyak orang, bagi bangsa ini,” tuturnya melanjutkan.

Ketiga, Fraksi PKS memandang RUU Cipta Kerja tidak tepat membaca situasi, tidak akurat dalam diagnosis, dan tidak pas dalam menyusun ‘resep’. Meskipun yang sering disebut adalah soal investasi.

Ledia Hanifa Amaliah menilai, pada kenyataannya persoalan yang hendak diatur dalam Omnibus Law bukan masalah-masalah utama yang selama ini menjadi penghambat investasi.

Baca Juga: Masih Bisa Mendaftar, Telkomsel Kembali Bagikan Kuota Internet Grats 45 GB per Bulan, Simak Caranya

Misalnya, ketidaktepatan itu adalah formulasi pemberian pesangon yang tidak didasarkan atas analisa yang komprehensif.

“Hanya melihat pada aspek ketidakberdayaan pengusaha, tanpa melihat rata-rata lama masa kerja pekerja yang di PHK. Sehingga nilai maksimal pesangon itu semestinya tidak menjadi momok bagi pengusaha,” tutur Ledia Hanifa Amaliah.

Keempat, secara substansi, sejumlah ketentuan dalam RUU itu masih memuat substansi yang bertentangan dengan politik hukum kebangsaan yang disepakati pasca-amandemen konstitusi.

Baca Juga: Surabaya Jadi Tuan Rumah Acara Hari Habitat Dunia, Tri Rismaharini: Saya Bangga Sekali

Ledia Hanifa Amaliah menjelaskan bahwa ketentuan-ketentuan yang ditolak dalam RUU Ciptaker adalah ancaman terhadap kedaulatan negara, melalui pemberian kemudahan kepada pihak asing.

“Termasuk juga ancaman terhadap kedaulatan pangan kita, RUU Cipta Kerja memuat substansi pengaturan yang berpotensi menimbulkan kerugian terhadap tenaga kerja atau buruh,” ujarnya.

“Melalui perubahan beberapa ketentuang yang lebih menguntungkan pengusaha, terutama pada pengaturan tentang kontrak kerja, upah, dan pesangon,” tutur Ledia Hanifa Amaliah menambahkan.

Baca Juga: Selain Timbulkan Penyakit Ginjal, Berikut 7 Dampak Buruk karena Kurang Minum Air Putih

Dia menilai, RUU Ciptaker memuat pengaturan yang berpotensi menimbulkan kerusakan terhadap kelestarian lingkungan hidup.

Misalnya, dalam pasal 37 RUU Cipta Kerja terkait perubahan UU Kehutanan, ketentuan penyediaan luas minimum 30 persen untuk fungsi kawasan hutan dari Daerah Aliran Sungai (DAS) dihapus.

Menurut Ledia Hanifa Amaliah, RUU itu juga memberikan kewenangan yang sangat besar bagi pemerintah. Namun, kewenangan tersebut tidak diimbangi dengan menciptakan sistem pengawasan dan pengendalian terhadap penegakan hukum administratifnya.

Baca Juga: Cek Fakta: Petani di India Disebut Telah Temukan Makhluk Melata Berkaki Empat dengan Kepala Manusia

“Seyogianya, apabila pemerintah bermaksud untuk mempermudah perizinan, maka sistem pengenaan sanksinya harus lebih ketat, dengan mengembangkan sistem peradilan administrasi yang modern,” ujarnya.***

Editor: Puji Fauziah

Sumber: Permenpan RB

Tags

Terkini

Terpopuler