Omnibus Law di Depan Mata, Begini 7 Alasan Buruh Indonesia Gelar Mogok Nasional Selama 3 Hari

5 Oktober 2020, 06:30 WIB
LSM Gerakan Masyarakat Bawah Indonesia (GMBI) distrik Sumedang gelar aksi penolakan RUU HIP di depan Gedung DPRD Sumedang, Selasa 30 Juni 2020. /RRI/

PR BEKASI - Setidaknya 32 federasi dan konfederasi di Indonesia telah memutuskan akan melaksanakan unjuk rasa serempak secara nasional yang diberi nama Mogok Nasional, yang direncanakan digelar selama tiga hari (6-8 Oktober 2020).

Setidaknya ada sekitar 2 juta buruh yang terkonfirmasi akan melakukan mogok nasional yang berlokasi di lingkungan perusahaan masing-masing.

Alasan dari Mogok Nasional ini tidak lain untuk menolak RUU Cipta Kerja yang disepakati akan berlanjut ke sidang paripurna untuk disahkan.

Baca Juga: Sepaham dengan Mahfud MD, Ahmad Riza Patria: Tidak Ada Hubungannya Pilkada dengan Covid-19

Setidaknya ada 7 hal yang ditolak buruh dan menjadi aksi mogok nasional. Berikut alasannya, dikutip Pikiranrakyat-Bekasi.com dari situs resmi KSPI, Senin, 5 Oktober 2020.

UMK bersyarat dan UMSK dihapus

Dalam RUU Cipta Kerja Upah Minimum Kabupaten/ Kota (UMK) dibuat bersyarat mengikuti inflasi atau pertumbuhan ekonomi dan Upah Minimum Sektoral Kabupaten/Kota dihapus.

Baca Juga: Perempuan Wajib Tahu, Begini Cara Bedakan Rasa Sakit karena Haid dan Gejala Kanker Payudara

Buruh menolak keras kesepakatan ini. Menurut Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal, UMK tidak perlu bersyarat dan UMSK harus tetap ada. Karena UMK tiap kabupaten/kota berbeda nilainya.

Said pun berpendapat tidak benar kalau UMK di Indonesia lebih mahal dari negara ASEAN lainnya.

Karena jika diambil rata-rata nilai UMK secara nasional, justru UMK di Indonesia jauh lebih kecil dibandingkan upah minimum di Vietnam.

Baca Juga: Update Data COVID-19 di Jawa Barat hingga 4 Oktober 2020 Pukul 21.00 WIB

Selain itu, UMSK harus tetap ada. Sebab tidak adil, jika sektor otomotif seperti Toyota, Astra, dan lain-lain atau sektor pertambangan seperti Freeport, Nikel di Morowali dan lain-lain, nilai UMK-nya sama dengan perusahan baju atau perusahaan kerupuk.

"Karena itulah di seluruh dunia ada Upah Minimum Sektoral yang berlaku sesuai kontribusi nilai tambah tiap-tiap industri terhadap PDP negara," katanya.

Sebagai jalan tengah, penetapan nilai kenaikan dan jenis industri yang mendapatkan UMSK bisa dilakukan di tingkat nasional untuk beberapa daerah dan jenis industri tertentu saja.

Baca Juga: Jadwal Pertandingan dan Link Live Streaming MU vs Totenham Hotspur, Minggu 4 Oktober 2020

Jadi UMSK tidak lagi diputuskan di tingkat daerah dan tidak semua industri mendapatkan UMSK, agar ada keadilan. Sedangkan perundingan nilai UMSK dilakukan oleh asosiasi jenis industri dengan serikat pekerja sektoral industri di tingkat nasional.

"Jadi upah minimum yang diberlakukan tidak harus sama rata sama rasa, karena faktanya setiap industri berbeda kemampuannya. Karena itu masih dibutuhkan UMSK," ucap Said Iqbal.

Menolak Pesangon 25 kali Upah

Baca Juga: 4 Surat Al-Quran yang Paling Dibenci Jin dan Setan

Buruh menolak pengurangan nilai pesangon dari 32 bulan upah menjadi 25 bulan. Di mana 19 bulan dibayar pengusaha dan 6 bulan dibayar BPJS Ketenagakerjaan.

Nilai pesangon yang berkurang, walaupun dengan skema baru yaitu 23 bulan upah dibayar pengusaha dan 9 bulan dibayar BPJS Ketenagakerjaan.

Hal itu dirasa tidak masuk akal dan ia mempertanyakan sumber dananya karena bagaimana bisa BPJS membayar pesangon buruh 9 bulan tanpa pernah membayar iuran PKWT atau kontrak seumur hidup tidak ada batas waktu kontrak.

Baca Juga: Serangan Bom Bunuh Diri Kembali Terjadi di Afganistan, 15 Orang Dinyatakan Tewas

Outsourcing Seumur Hidup

Pekerja Outsourcing dikhawatirkan bisa seumur hidup tanpa batas jenis pekerjaan yang boleh di outsourcing. Padahal sebelum, outsourcing dibatasi hanya untuk 5 jenis pekerjaan. Buruh menolak outsourcing seumur hidup.

Menurut Said Iqbal, karyawan kontrak dan outsourcing seumur hidup menjadi masalah serius bagi buruh. Dan ini akan dilakukan penolakan besar-besaran.

Baca Juga: Tak Mau Ikutan Aksi Demo Bersama Serikat Lain, KSBSI: Aksi Mogok Nasional Rugikan Buruh

Dia juga mempertanyakan, siapa yang akan membayar Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP) untuk karyawan kontrak dan outsourcing.

Sebab tidak mungkin buruh membayar kompensasi untuk dirinya sendiri dengan membayar iuran JKP.

Waktu kerja tetap eksploitatif. Buruh menolak jam kerja yang eksploitatif.

Baca Juga: Dukung Perdamaian Internasional, Retno Marsudi Sebut 3 Hal Penting Penghapusan Senjata Nuklir

Hak cuti hilang dan hak upah atas cuti hilang

Cuti haid dan melahirkan bagi pekerja perempuan terancam hilang, karena hak upahnya atas cuti tersebut hilang.

Begitu pun dengan cuti panjang dan hak cuti panjang, juga berpotensi hilang.

Baca Juga: Serangan Bom Bunuh Diri Kembali Terjadi di Afganistan, 15 Orang Dinyatakan Tewas

Jaminan Pensiun dan Kesehatan Hilang

Hal ini diakibatkan karena karyawan kontrak dan outsourcing seumur hidup.***

Editor: Ikbal Tawakal

Sumber: KSPI

Tags

Terkini

Terpopuler