Beri 8 Catatan Kritis Terkait RUU Ciptaker, F-PAN: Ini Terlalu Tergesa-gesa dan Minim Aspirasi

5 Oktober 2020, 20:09 WIB
Perwakilan Fraksi PAN saat sidang paripurna, Saleh Partaonan Daulay. /Antara

PR BEKASI - Rapat Paripurna DPR RI resmi menyetujui RUU Cipta Kerja atau Omnibus Law Cipta Kerja menjadi Undang-undang (UU) pada Senin, 5 Oktober 2020.

Sebelum mengambil keputusan tersebut, seluruh fraksi telah menyampaikan pandangannya terkait dengan RUU Cipta Kerja, yaitu enam fraksi menyatakan setuju, satu fraksi memberikan catatan (Fraksi PAN), dan dua fraksi yang menyatakan menolak persetujuan RUU Cipta Kerja menjadi UU (Fraksi Partai Demokrat dan Fraksi PKS).

Menurut Pelaksana Harian Ketua Fraksi PAN DPR RI Saleh Partaonan Daulay, fraksinya menyampaikan 8 catatan kritis terkait RUU Cipta Kerja, yang dihimpun dari masyarakat dan merupakan akumulasi aspirasi yang disampaikan kepada Fraksi PAN.

Baca Juga: Viral Video Polisi Tulungagung Asik Dangdutan di Tengah Pandemi Covid-19, Polda Jatim Ambil Tindakan

"Namun harus disadari, Fraksi PAN tentu tidak bisa sendiri dalam menyuarakan dan memperjuangkannya. Karena itu, tidak heran jika tidak semua catatan kritis itu bisa diakomodir dan dimasukkan dalam UU," kata Saleh, di Jakarta, Senin, 5 Oktober 2020, sebagaimana dikutip Pikiranrakyat-Bekasi.com dari Antara.

Dia menjelaskan, catatan kritis pertama, pembahasan RUU Cipta Kerja ini terlalu tergesa-gesa dan minim partisipasi publik. Karena itu, menurut dia, tidak berlebihan jika kemudian dikatakan bahwa hasil dari RUU ini kurang optimal.

"Karena itu, penyusunan aturan turunannya perlu menyerap aspirasi publik secara luas," ujar Saleh.

Kedua, dari sektor kehutanan, aturan yang ada dalam UU Omnibus Law masih mengesampingkan partisipasi masyarakat.

Baca Juga: Kemnaker Luncukan Program JPS Wirausaha Mandiri, Simak Kriteria Penerimanya

Hal itu terkait dengan penghapusan izin lingkungan, penyelesaian konflik lahan hutan, masyarakat adat dan perkebunan sawit, serta tumpang tindih antara area hutan dengan izin konsesi pertambangan.

Lalu, catatan ketiga, dari sektor pertanian, Fraksi PAN mendorong pemerintah agar keran impor pangan dari luar negeri tidak dibuka terlalu lebar.

Saleh meminta pemerintah harus memproteksi hasil produksi pangan lokal untuk meningkatkan daya saing petani.

"Fakta bahwa tanpa membuka keran impor saja, daya saing komoditas pertanian kita sulit dikendalikan. Fraksi PAN menilai bahwa pengendalian harga komoditas pertanian yang dapat melindungi konsumen dan petani sekaligus, belum menjadi agenda dalam RUU Cipta Kerja," kata Saleh.

Baca Juga: UU Cipta Kerja Disahkan, PKS: Banyak Pasal yang Bertentangan dengan Norma UUD 1945

Catatan keempat, ketentuan dalam Pasal 49 tentang Jaminan Produk Halal, yang didasarkan atas pernyataan pelaku "self declare" UMK (Usaha Mikro dan Kecil) sekalipun dilakukan berdasarkan standar halal yang ditetapkan oleh BPJPH (Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal), berpeluang besar melahirkan praktik moral hazard yang dilakukan pelaku UMK.

Saleh mengatakan "self declare" adalah pengakuan sepihak yang belum tentu bisa diverifikasi kebenarannya, dalam konteks ini semestinya RUU Cipta Kerja bisa mengatur lebih spesifik terkait dengan labelisasi produk halal melalui lembaga yang resmi dan disetujui.

"Kelima, dalam bidang ketenagakerjaan, Fraksi PAN belum melihat penjelasan lebih khusus mengenai aspek rencana penggunaan tenaga kerja asing, agar tidak menimbulkan multi-interpretasi, sebaiknya hal itu bisa dicantumkan secara spesifik dalam UU ini," tutur Saleh.

Baca Juga: UU Cipta Kerja Disahkan, PKS: Banyak Pasal yang Bertentangan dengan Norma UUD 1945

Keenam, Fraksi PAN menilai penghapusan ketentuan Pasal 64 dan 65 dalam UU Ketenagakerjaan yang memuat pengaturan mengenai perjanjian pemborongan pekerjaan, dapat berimplikasi pada dimungkinkannya semua jenis pekerjaan untuk diborongkan tanpa adanya batasan tertentu.

Menurut Saleh, hal itu akan melahirkan banyak pekerja kontrak yang tidak terproteksi dengan fasilitas-fasilitas yang telah diakomodir dalam UU Ketenagakerjaan.

"Fraksi PAN menilai bahwa perusahaan-perusahaan nantinya bisa secara membabi-buta menggunakan pekerja kontrak. Hal ini jelas bertentangan dengan Pasal 27 ayat (2) UUD NRI 1945 bahwa tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan," ujar Saleh.

Catatan ketujuh, dalam Pasal 88B dijelaskan bahwa upah ditetapkan berdasarkan satuan waktu dan/atau hasil, Fraksi PAN menilai ketentuan ini berpotensi melahirkan persoalan baru dan ketidakadilan bagi kesejahteraan pekerja/buruh.

Baca Juga: Air Danau Sentani Surut, Peninggalan Berharga Zaman Megalitikum Muncul Perlahan ke Permukaan

Catatan kedelapan, Fraksi PAN menilai jumlah pemberian pesangon adalah tetap sebanyak 32 kali gaji, hanya saja yang membuat berbeda adalah pesangon itu tidak saja dibayarkan oleh pemberi kerja, tetapi juga dibayar oleh pemerintah.

Dia mengatakan saat terjadi pemutusan hubungan kerja (PHK), pemberi kerja wajib membayar pesangon sebesar 23 kali gaji, sedangkan pemerintah membayar 9 kali gaji melalui skema Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP).

"Hal ini jelas meringankan beban yang harus dibayar pengusaha atau pemberi kerja, serta tidak mengurangi hak buruh dalam menerima pesangon. Namun, Fraksi PAN menilai bahwa skema ini perlu diatur dan diperdalam lebih lanjut. Sebab skema JKP ini direncanakan juga akan menyerap Anggaran Penerimaan Belanja Negara (APBN)," tutur Saleh.

Dia menegaskan bahwa Fraksi PAN berharap agar kelahiran UU ini dapat membawa kemaslahatan dan kesejahteraan bagi masyarakat luas.***

Editor: M Bayu Pratama

Sumber: RRI

Tags

Terkini

Terpopuler