Ada Kecenderungan Diktatorship di Rezim Jokowi, Refly: Jika Din Syamsuddin Ditangkap, Benar Adanya

24 Oktober 2020, 20:41 WIB
Pakar Hukum Tata Negara, Refly Harun: Din Syamsuddin ditangkap karena miliki pendapat yang berbeda terkait pemerintahan Jokowi saat sekarang ini, Refly Harun beri tanggapan. /-Foto: Tangkapan layar channel YouTube Refly Harun

PR BEKASI - Dalam beberapa waktu lalu, Ketua Umum Dewan Nasional Pergerakan Indonesia Maju (DN-PIM) Din Syamsudin menyatakan bahwa Indonesia tengah menjadi negara yang diktator.

"Saat ini ada gejala Indonesia menjadi negara diktator konstitusional. Indikasi negara diktator konstitusional adalah sikap kukuh pemerintah terhadap masukan masyarakat atas kebijakannya," katanya.

Hal itu menurutnya tercermin dalam penolakan revisi UU KPK, desakan penundaan Pilkada serentak, Revisi UU Mineral dan Batubara (Minerba), dan teranyar UU Omnibus Law. 

Baca Juga: Tak Puas dengan Penjelasan Menaker Mengenai UU Cipta Kerja, SPSI: Transparansi yang Dibutuhkan

Desakan dan pendapat masyarakat dalam berbagai kebijakan itu, kata dia, tidak satupun didengarkan pemerintah. Kebijakan-kebijakan yang ditolak masyarakat tetap saja dilanjutkan.

"Kalau ini terus terjadi, tidak ada titik temu, pemerintah merasa berkuasa, ada gejala negara ini menjadi negara konstitusional dictator," ucapnya saat memberi kata penutup dalam webinar bertajuk Dampak Omnibus Law Terhadap Otonomi Daerah Dan Berbagai Aspek Lainnya, Kamis 22 Oktober 2020.

Menurutnya dalam banyak hal, pemerintah berjalan dengan keputusan sendiri dan tidak lagi mendengarkan aspirasi masyarakat.

Baca Juga: Saudi Berikan Jutaan Dolar untuk Percepat Normalisasi Sudan dengan Israel

"Ini berbahaya," ucapnya dikutip Pikiranrakyat-Bekasi.com dari kanal YouTube Refly Harun.

Dia mengungkapkan, dalam kasus UU Omnibus Law, hampir seluruh elemen negara telah bersuara keras meminta pemerintah membatalkan pembahasan di DPR. 

Suara yang sama juga disampaikan agar UU itu dibatalkan setelah disahkan. Tetapi, pemerintah nampak tidak mau mendengarkan aspirasi itu.

Baca Juga: Jadi Pahlawan Perang Lawan Covid-19, Presiden Jokowi Sampaikan Terima Kasih Kepada para Dokter

"Moral politik pemimpin yang baik adalah yang mendengarkan aspirasi rakyat. Dalam demokrasi rakyat yang berdaulat," katanya.

Dia menambahkan, banyak akademisi yang juga telah memberi kesan terhadap UU Omnibus Law. Misalnya Fakultas Hukum UI yang menyebut penyusunan UU itu jorok.

Kesan-kesan itu, kata dia, diberikan tentu setelah melalui pembacaan atas UU yang diparipurnakan pada 5 Oktober lalu.

Baca Juga: Soroti Penangkapan Gus Nur Atas Dugaan Pelanggaran UU ITE, Fadli Zon: Mirip Zaman Penjajahan

Sehubungan dengan hal tersebut melalui unggahan video di YouTube Refly Harun,  Refly Harun menanggapi pernyataan Din Syamsuddin bahwa Bangsa Indonesia akan menjadi Pemerintahan yang diktator.

"Karena berapa kali saya mendengarkan Din Syamsuddin mengatakan bahwa Indonesia menuju konstitusional diktatorship yaitu diktator tapi konvensional," ucap Refly Harun.

"Diktator konvensional atau diktatorship, ini terjadi ketika orang menilai masa pemerintahan bung Karno pada era orde lama dari tahun 1966 dan dengan pemerintah orde baru dari tahun 66 sampai kemudian 98 perbedaannya adalah dari sumber legitimasi," ujar Refly.

Baca Juga: Pemimpin Negara Lagi-lagi Jadi Korban, Kini Giliran Presiden Polandia Positif Covid-19

Keduanya pemerintahan yang otoriter, itu sudah menjadi pendapat umum para ilmuwan baik politik maupun hukum tata negara. Bahwa baik orde lama maupun orde baru itu adalah otoriter.

"Tetapi yang membedakan adalah Bung Karno tidak memerlukan legitimasi konstitusi untuk bertindak, dia melampaui mengatasi konstitusi itu sendiri sebagai contoh misalnya ketika dia menjadikan pidatonya sebagai GBHN Garis-garis Besar Haluan Negara," ucap Refly Harun.

"Pidatonya yang bertajuk manipol usdek manifesto politik, undang-undang dasar sosialisme dan demokrasi ekonomi itu menjadi garis-garis besar hal yang haluan negara atau Guideline," tuturnya.

Baca Juga: Ma'ruf Amin Tergetkan Indonesia Jadi Produsen Halal Terbesar Dunia di Tahun 2024

Konstitusi mengatakan yang berhak menetapkan itu adalah majelis permusyawaratan rakyat, namun pada masa pemerintahan pak Harto dia menjalankan formalisme konstitusi. Walaupun semua orang tahu bahwa GBHN itu dibuat oleh pemerintah.

"Bahwa GBHN itu disiapkan pemerintah disorongkan ke MPR melalui terutama fraksi Golkar dan fraksi ABRI yang merupakan kaki dari pak Harto lalu secara aklamasi akan disetujui," ujar Refly Harun.

"Jadi formalisme saja itu yang disebut konstitusional diktatorship, jadi konstitusional diktatorship itu adalah prosedur-prosedur sumber konstitusi itu dipakai tapi hanya prosedurnya saja substansinya tidak," ucapnya.

Baca Juga: Puji Kinerja Bareskrim Polri dalam Kasus Kebakaran Kejagung, DPR: Bukti Polri Tidak Kaleng-Kaleng

"Padahal kan kita bicara substansi seharusnya ruang perdebatan itu ada di wakil-wakil rakyat di MPR baik dari unsur DPD maupun unsur DPR," ujarnya.

Kalau dulu unsurnya bukan DPD tapi utusan golongan dan utusan daerah wataknya sama tapi prosedurnya berbeda.

"Sekarang ketika masa pemerintahan presiden Jokowi dianggap ada kecenderungan pada diktator konstitusional atau konstitusional diktatorship," ucapnya.

Baca Juga: Gus Nur Ditangkap Bareskrim Polri, Ferdinand Hutahaean: Refly Harun Juga Harus Diproses

"Saya tidak membantah ada kecenderungan itu yang paling nyata adalah penggunaan secara masif undang-undang ite undang-undang tentang internet dan transaksi elektronik yaitu undang-undang yang betul-betul sapu jagat untuk membungkam sikap kritis siapa pun," tuturnya.

Sering digunakan negara tapi sering digunakan kelompok-kelompok situs society yang tidak mau kritik.

"Jadi baik unsur negara maupun unsur civil society menggunakan undang-undang ite itu untuk menghantam untuk memenjarakan siapapun yang tidak sepakat dengan pemerintahan misalnya atau siapapun yang dianggap melakukan penghinaan dianggap melakukan provokasi perbuatan-perbuatan yang dianggap tidak menyenangkan dan lain sebagainya," ujar Refly Harun.

Baca Juga: Komentari Pemerintah, Sujiwo Tejo Sentil Mahfud MD: Ngomong 1+1=2 Saja Rakyat Udah Gak Percaya

Jadi undang-undang itu sebenarnya banyak makan korban tapi sayangnya MK hingga saat ini tidak mau hapuskan atau membatalkan undang-undang itu.

"Tertawa keberadaan pasal 27 yang paling berbahaya subjektifnya tinggi sekali jadi liat ini di luar sudah," pungkas Refly.

"Mudah-mudahan kita tidak terus terjerumus ke dalam lubang dictatorship ini Dan satu hal kalau gara-gara mengatakan bahwa pemerintah sekarang ada kecenderungan konstitusional dictatorship atau diktator konstitusional lalu ada konsekuensi hukum kepada profesor Din Syamsuddin, misalnya katakan ditangkap juga ini justru membuktikan bahwa memang benar-benar ada diktatorship itu," ucap Refly.

Baca Juga: Sempat Jadi Jokowi Mania saat Pilpres Lalu, Ernest Prakasa Ungkap Kecewa: Salah Saya Sendiri

"Kita tentunya tidak menginginkan negara kita menjadi negara yang otoritarian kembali pemimpin yang menjadi diktator kembali karena membangun demokrasi ini tidak mudah penuh dengan darah dan air mata dan juga korban nyawa dari syuhada syuhada reformasi tahun 98," tuturnya.

Dan siapapun yang menikmati kepemimpinan hari ini yang duduk di kepemimpinan baik para pemimpin yang memimpin para pendukungnya harus mengingat ini baik-baik jangan sampai negara ini regresif kembali.

"Tidak enak mengalami era seperti era orde baru apalagi era orde lama," ucapnya.

Baca Juga: Biar Tidak Monoton, Gunakan Benda yang Akrab dengan Anak untuk Media Edukasi Pencegahan Covid-19

"Padahal saya belum lahir tapi orde baru sangat merasakan bagaimana kebebasan sangat dibuka bagaimana kita tidak bisa bersuara bebas. Jadi kalau sekarang dikatakan kita tidak sama dengan masa pemerintahan Pak Harto, kita tidak pengen sama karena kalau kita menjadi sama maka Negara kita adalah Negara yang gelap Negara yang otoriter negara yang tidak lagi menghargai perbedaan pendapat," ujar Refly Harun.

"Tapi jangan lupa itu menjadi satu aspek kebebasan sipil, aspek politik, aspek kebebasan berpendapat menyatakan pikiran baik secara lisan maupun tulisan, tapi aspek lain juga harus diselesaikan misalnya ekonomi kebudayaan pendidikan dan lain sebagainya," ucapnya.

Menurut Refly kalau kita bandingkan antara satu dengan yang lainnya bisa jadi lebih baik dari satu segi pada era orde baru dibandingkan era reformasi saat ini lebih baik era kepemimpinan SBY dibanding era kepemimpinan Jokowi.

Baca Juga: Psikolog Bocorkan Kiat untuk Sampaikan Pencegahan Covid-19 pada Anak-anak

"misalnya lebih baik era kepemimpinan pak Harto dibandingkan era kepemimpinan Jokowi atau SBY," ucapnya.

"Tapi kita harus lihat aspeknya dulu, tapi kalau kita bicara aspek kebebasan sipil ya jangan kita tiru era orde lama dan orde baru tersebut. Yang membungkam sipil yang menjadikan negara kita menjadi diktator, mungkin satu diktator konstitusional karena pada zaman pemerintahan pak Harto selalu menyandarkan pada Pancasila dan undang-undang dasar 1945 untuk memulul siapapun yang berbeda pendapat," ujar Refly Harun.

"Saya tidak ingin masa itu terulang kembali pada era saat ini terutama era pemerintahan Jokowi dan jangan sampai presiden Jokowi justru meninggalkan warisan sebagai pemimpin yang menggerakkan kembali Ilham otoritarianisme di negara ini," tutupnya.***

Editor: Puji Fauziah

Tags

Terkini

Terpopuler