4 Kelompok Dikabarkan Akan Kudeta Jokowi, Refly Harun Jelaskan 3 Cara Mengganti Presiden

30 Oktober 2020, 19:58 WIB
Ahli Hukum Tata Negara, Refly Harun. /YouTube/ Refly Harun

PR BEKASI - Ahli Hukum Tata Negara, Refly Harun mengulas sebuah berita yang menyebut bahwa ada empat kelompok yang akan mengkudeta pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi).

Empat kelompok itu adalah keluarga besar Cendana, pengusaha hitam yang tersingkir dalam penguasaan ekonomi sejak Jokowi menjabat presiden, kelompok oligarki, dan ormas terlarang di Indonesia yakni Hizbut Tahrir (HTI).

Keempat kelompok itu diungkap oleh Ketua Umum Brikade 98 Benny Ramadhani.

Baca Juga: 'Petualangan Sherina 2' Segera Obati Rindu Penggemarnya, Sherina Munaf: Deg-degan

Menanggapi kabar tersebut, Refly Harun pun mengklarifikasi tentang apa itu kudeta.

"Jadi kalau kita bicara kudeta, jangan terlalu mudah bicara tentang kudeta. Karena kalau kudeta itu intinya merebut kekuasaan dengan cara yang inkonstitusional," kata Refly Harun, sebagaimana dikutip Pikiranrakyat-Bekasi.com dari tayangan kanal YouTube Refly Harun, Jumat, 30 Oktober 2020.

Refly Harun pun mencontohkan beberapa peristiwa yang termasuk kudeta, seperti peristiwa G30S/PKI dan peristiwa Madiun 1948.

"Itu adalah sebuah pemberontakan dalam rangka mengkudeta pemerintahan yang sah," ujar Refly Harun.

Baca Juga: Beri Ceramah Maulid Nabi, Ustaz di Aceh Jadi Korban Penikaman di Leher

Refly Harun juga menjelaskan, jika seruan penurunan presiden dari jabatannya itu berasal dari aspirasi konstitusional, maka tidak layak disebut kudeta.

Dirinya pun telah berkali-kali mengatakan bahwa sebab seorang presiden diganti itu ada tiga dan semuanya dengan jalur konstitusional.

"Satu, melalui pemilihan presiden dan itu akan kita tunggu pada 2024, yang pasti pergantian presiden itu akan terjadi," kata Refly Harun.

Menurutnya, dalam pasal-pasal konstitusi disebutkan bahwa presiden hanya menjabat selama dua periode saja dan tidak bisa dipilih kembali.

Baca Juga: Protes Pernyataan Macron, Senin Depan Kantor Kedubes Prancis Dikabarkan Akan Digruduk Ribuan Massa

"Karena itu, sehebat-hebatnya SBY, dia hanya dua periode," ujar Refly Harun.

Lalu jalur kedua adalah pemakzulan atau pemberhentian presiden.

"Pernah terjadi pada pemerintahan Soekarno di tahun 1967, ketika Soekarno diberhentikan melalui Sidang Istimewa MPRS (Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara)," kata Refly Harun.

Selain itu, pemberhentian presiden juga terjadi pada tahun 2001 ketika Abdurrahman Wahid atau Gus Dur dimakzulkan.

"Dua pemberhentian presiden ini masih dalam rezim undang-undang dasar (UUD) kita yang lama sebelum diamandemen atau diubah," ucap Refly Harun.

Baca Juga: IDI Tekankan Penerapan Protokol Kesehatan Meski Vaksin Covid-19 Sudah Ada

Oleh karena itu, menurutnya, jika ada aspirasi yang menginginkan Indonesia kembali pada naskah asli UUD, yakinlah bahwa undang-undang versi lama telah menyebabkan dua presiden jatuh dan dua presiden pula menjadi presiden yang otoriter.

Sedangkan jalur yang ketiga adalah pengunduran diri.

"Kalau pengunduran diri, tidak ada syaratnya. Ya barangkali secara etis cuma kemauan rakyat saja. Tapi mengukur kemauan rakyat itu kan relatif sekali," kata Refly Harun.

Refly Harun pun menegaskan bahwa aspirasi terkait penurunan jabatan presiden harus dilakukan secara konstitusional dan tanpa paksaan.

"Aspirasi tiga jalur tersebut dilakukan secara konstitusional dan tidak boleh ada pemaksaan," ujar Refly Harun.***

Editor: M Bayu Pratama

Tags

Terkini

Terpopuler