Plin-plan Aturan Ganja di Indonesia, MAHUPKI: Jangan Membuat Publik Bingung, Kaji Lebih Matang

- 2 September 2020, 08:02 WIB
Ilustrasi daun ganja: Kementan cabut kembali penetapan ganja sebagai tanaman obat binaan.
Ilustrasi daun ganja: Kementan cabut kembali penetapan ganja sebagai tanaman obat binaan. /PIXABAY /7RAYSMARKETING

 

PR BEKASI - Masyarakat Hukum Pidana dan Kriminologi Indonesia (MAHUPKI) menegaskan Keputusan Menteri Pertanian (Mentan) Syahrul Yasin Limpo yang mencantumkan ganja sebagai komoditas tanaman binaan jangan sekedar dicabut untuk di revisi saja.

Ketua MAHUPKI sekaligus Dekan Fakultas Hukum Universitas Pakuan Bogor Yenti Garnasih dalam keterangan tertulis yang diterima di Jakarta, Rabu, 2 September 2020 mengingatkan hal itu setelah Syahrul mencabut Kepmentan Nomor 104/KPTS/HK. 140/M/2/2020 yang mencantumkan ganja sebagai komoditas tanaman binaan di bawah kementerian yang dipimpinnya pasca viral dan menjadi polemik.

"Saya memandang ide melegalkan ganja apapun peruntukannya misalnya seperti yang baru-baru ini untuk pengobatan, apalagi tidak/belum memiliki payung hukum yaitu undang-undang baru yang tentunya tidak boleh bertentangan dengan undang-undang sebelumnya atau yang lain, tentu ini sangat disayangkan," kata Yenti, sepeti dikutip Pikiranrakyat-Bekasi.com dari Antara.

Baca Juga: PMI Industri Manufaktur Indonesia Unggul Dibanding Negara ASEAN Lainnya, Menperin: Ini Kabar Gembira

Menurutnya, pasang dan cabut kebijakan atau peraturan tersebut membuat bingung dan menimbulkan banyak pertanyaan di publik.

"Wajar saja jika ada masyarakat yang menduga apakah aturan Kepmentan ini karena pesanan? apakah ini semacam 'tes' untuk melihat reaksi masyarakat," kata Yenti.

Yenti memberi contoh beberapa negara yang melegalkan ganja, khususnya untuk obat-obatan. Tetapi dalam prosesnya apakah Indonesia sudah sampai pada keputusan seperti mengapa negara lain melakukan hal itu.

Menurut Yenti, haru ada kajian mendalam dari berbagai sudut pandang, geografis Indonesia, tingkat pendidikan kebanyakan masyarakat terkait kedewasaannya untuk tidak menyalahgunakan legalisasi ganja untuk pengobatan, hingga pengawasannya.

Baca Juga: Usai Ditemukan di Jakarta dan Surabaya, Kini Mutasi D614G Juga Ditemukan di Yogyakarta dan Jateng

"Intinya tidak semua yang cocok atau siap diterapkan di negara lain, tepat atau cocok di Indonesia, terutama dalam implementasinya," tuturnya.

Sesuai pengaturan yang hendak diberlakukan, menurut Yenti minimal harus ada rencana pembahasan berisi konsensus masyarakat terkait hal itu, kajian-kajian cost and benefit bila melegalkannya, dan setelah itu melakukan koordinasi terhadap hukum dan pengaturan lain.

"Dan terakhir, pada kementerian mana usulan ini akan dilakukan," ujar Yenti.

Baca Juga: Tidak Kapok, Majalah Charlie Hebdo Segera Rilis Ulang Karikatur Kontroversial Nabi Muhammad

Mengingat persoalan ganja dilarang oleh peraturan setingkat undang-undang, maka menurut Yenti tidak mungkin dianulir oleh keputusan menteri.

Pandangan terhadap ganja adalah pohon obat untuk pengobatan, sudah seharusnya melibatkan aparatur penegak hukum (BNN, Polri, Kejaksaan), LIPI, Kemenkes, dan stakeholder lainnya.

Baca Juga: Berlaku Mulai 7 September, Malaysia Larang Tiga Negara Ini ke Negaranya demi Tekan Kasus Covid-19

Hal itu menurutnya sangat penting dilakukan sebelum mengeluarkan keputusan yang hendak dinilai publik sebagai keputusan pemerintah.

Dengan dasar itu, Masyarakat Hukum Pidana dan Kriminologi Indonesia mengingatkan Keputusan Menteri Pertanian RI nomor 104/KPTS/HK.140/M/2/2020 itu dibatalkan.***

Editor: Puji Fauziah

Sumber: ANTARA


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah