RUU Cipta Kerja Bermasalah, Otoritas Fatwa Halal MUI Terusik: Ini Soal Krusial

- 12 September 2020, 09:49 WIB
Ilustrasi produk halal.
Ilustrasi produk halal. /Dok. Pikiran Rakyat/

PR BEKASI - RUU Cipta Kerja menjadi polemik karena dianggap beberapa pihak tidak sesuai dengan keadaan dan kebutuhan kelompok pekerja hingga dampak lingkungan.

Aksi demo dilakukan kepada pemerintah agar RUU Cipta Kerja tidak dilanjutkan karena dianggap tidak berpihak kepada rakyat, terlalu menguntungkan korporasi dan dinilai mengancam kelestarian lingkungan.

Kini RUU Cipta Kerja juga dipermasalahkan terkait otoritas pada jaminan produk halal yang dianggap tumpang tindih antara pemerintah dan Majelis Ulama Indonesia (MUI).

Baca Juga: Tingkatkan Kualitas Udara, Pertamina Ajak Masyarakat Gunakan BBM Berkualitas

Dalam RUU Cipta Kerja pasal 35A Ayat (2) diatur ketentuan, perihal batas waktu dalam penetapan fatwa halal.

Dikatakan apabila MUI tidak dapat memenuhi batas waktu yang telah ditetapkan dalam proses memberikan/menetapkan fatwa, maka Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) dapat langsung menerbitkan sertifikat halal.

Sedangkan, dalam pasal 33 ayat (3) diatur ketentuan, bahwa: sidang fatwa halal memutuskan kehalalan produk paling lama 3 (tiga) hari kerja sejak MUI menerima hasil pemeriksaan dan/atau pengujian produk dari LPH.

Baca Juga: Ahli Virologi Tiongkok Melarikan Diri ke AS dengan Alasan Keselamatan Usai Klaim Kontroversialnya

Anggota Badan Legislasi DPR RI dari Fraksi PKS, Mulyanto mengatakan pemerintah seharusnya bertindak sebagai otoritas regulasi dan administratif, sedangkan MUI bertindak sebagai pemegang otoritas fatwa halal.

Mulyanto meminta pemerintah untuk memisahkan otoritas yang mengurus regulasi dan administratif dengan otoritas yang menetapkan fatwa halal.

"Pengaturan berupa pemisahan yang tegas antara wilayah otoritas Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal dan Majelis Ulama Indonesia ini sangat penting untuk diperhatikan, karena di satu sisi otoritas MUI terkait dengan keyakinan keagamaan 'halal, sementara di sisi lain otoritas BPJPH terkait dengan kecepatan proses administratif penerbitan sertifikasi halal," kata Mulyanto, seperti dikutip Pikiranrakyat-Bekasi.com dari RRI, Sabtu, 12 September 2020.

Baca Juga: Komnas PA Minta Hentikan Eksploitasi Anak sebagai Manusia Silver dan Ondel-ondel

Mulyanto berpendapat pengambilalihan penetapan fatwa halal oleh otoritas administratif tidak masuk nalar dan keyakinan agama.

Menurutnya BPJPH dan MUI adalah dua lembaga dengan wilayah otoritas yang terpisah dan kompetensi yang berbeda. Tidak bisa saling mengambil alih.

"Mempercepat proses penetapan fatwa itu kita setujui. Namun, pengambilalihan ini akan sangat membingungkan. Bagaimana mungkin BPJPH dapat langsung menerbitkan sertifikat halal, sementara proses penetapan fatwa halal untuk produk itu sendiri belum selesai?" ujar Mulyanto.

Baca Juga: Pemerintah Tetapkan 23 Hari Libur dan Cuti Bersama 2021, Catat Pergeseran di Idul Fitri dan Natal

Sehingga menurut Mulyanto, sertifikasi yang dilakukan BPJPH akan membuat bingung.

"Nanti akan memunculkan pertanyaan, apa dasar "kehalalan" dari sertifikat BPJPH yang terbit tanpa fatwa MUI tersebut. Ini soal krusial. Jangan sampai kita memasang pasal bom waktu, yang kelak bisa meledak dan menuai protes umat." kata Mulyanto.***

Editor: Ikbal Tawakal

Sumber: RRI


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x