Bias Informasi Omnibus Law Tersebar di Ruang Publik, Menteri LHK Tegaskan Beberapa Poin Penting Ini

- 11 Oktober 2020, 09:20 WIB
Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya Bakar.
Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya Bakar. /Instagram @siti.nurbayabakar./

PR BEKASI – Setelah pengesahan Undang-Undang (UU) Omnibus Law Cipta Kerja, dikatakan akan ada sanksi pidana tegas menanti apabila ada yang berani 'bermain-main' di dalam kawasan hutan.

Hal tersebut diungkapkan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya Bakar melalui cuitannya di akun Twitter resmi @SitiNurbayaLHK, pada Jumat, 10 Oktober 2020.

"Jika setelah UU Omnibus Law masih ada yang 'bermain-main lagi di dalam kawasan, maka akan diterapkan sanksi pidana yang tegas," tuturnya.

Baca Juga: Buntut Aksi Perusakan Halte TransJakarta, Anies Baswedan Perkirakan Rp65 Miliar untuk Dana Perbaikan

Dalam cuitanya, dia menguraikan beberapa poin penting dalam UU Omnibus Law Cipta Kerja, karena banyaknya informasi bias di ruang publik terkait bidang Lingkungan Hidup dan Kehutanan tersebut.

Dia mengatakan, Kementerian LHK berkepentingan mengawal UU Omnibus Law yang berkaitan dengan tiga UU, yakni UU 32 tahun 2009, UU 41 tahun 1999, dan UU 18 tahun 2013.

Poin pertama yakni UU Cipta Kerja penting untuk penyelesaikan warisan masalah berkaitan dengan konflik tenurial kawasan hutan.

Baca Juga: Jurnalis Terima Intimidasi dalam Meliput, Polri Berdalih: Situasinya Chaos dan Anarkis

"Jangan ada lagi kriminalisasi masyarakat lokal atau masyarakat adat, dan masalah-masalah kebun di kawasan hutan," ujar Siti Nurbaya Bakar.

Menurutnya, rakyat harus dilindungi dan diberikan akses untuk mengelola dan sejahtera dari sumber daya alam (SDA), dan di sinilah peran UU Omnibus Law Cipta Kerja hadir.

"Tak boleh ada lagi petani kecil asal ditangkap, justru mereka harus dirangkul dan diberi akses mengelola kawasan dalam bentuk perhutanan sosial," tutur Siti Nurbaya Bakar.

Baca Juga: Para Wanita Jangan Cemas Jika Ada Benjolan Tiba-tiba di Area Payudara, Dokter Beri Penjelasannya

Dia menuturkan, sebelum tahun 2015, rakyat hanya menguasai 4 persen dari izin pengelolaan hutan. Namun, saat ini perhutanan sosial mencapai 4.2 hektare dan lahan hutan untuk masyarakat sudah sekitar 2.6 juta hektare.

Hal tersebut berarti bahwa perizinan untuk rakyat kecil telah menjadi 13 sampai 16 persen, dan komposisi untuk rakyat tersebut akan terus naik. Karena secara ideal dengan target 12.7 hektare hutan sosial dan TORA, maka akan dicapai izin untuk rakyat kecil mencapai 30 hingga 35 persen.

Poin kedua adalah masyarakat di sekitar hutan akan diikutsertakan dalam kebijakan penataan kawasan hutan, melalui hutan sosial dan Tanah Obyek Reforma Agraria (TORA).

Baca Juga: Tuding Jokowi Tidak Jawab Masalah Omnibus Law, Mardani Ali Sera: Bapak Sudah Baca Atau Belum?

Sederhananya, hal tersebut dimaknai bahwa izin diberikan langsung kepada rakyat keci, bukan lagi korporasi.

Izin untuk korporasi membuka hutan primer dan gambut sendiri, sudah dihentikan total secara permanen oleh Presiden Joko Widodo.

"Oleh karena itu, jelas bahwa dengan UU ini pemerintah berpihak pada rakyat, dan melindungi semua hak rakyat sekitar hutan, termasuk masyarakat adat," tutur Siti Nurbaya Bakar.

Baca Juga: Viral di Media Sosial, Detik-detik Sebelum Seorang Pemuda Diculik Saat Mengikuti Kelas Online

Ketiga, terkait penyelesaian kebun rakyat dan korporasi dalam kawasan hutan, serta belum memiliki izin (keterlanjuran), sangat tidak benar jika dikatakan UU Omnibus Law memberikannya secara 'Cuma-Cuma' tanpa ada sanksi apapun.

"Faktanya, korporasi yang terlanjur berada di dalam kawasan, akan dikenakan sanksi denda atas keterlanjuran 'kebijakan masa lalu', dan sanksi denda itu akan menjadi penerimaan negara," ujar Siti Nurbaya Bakar.

Dia menambahkan bahwa denda tersebut merupakan denda paling besar yang memungkinkan masuk ke kas negara, untuk dikembalikan bagi rakyat.

Baca Juga: Besuk Korban Kerusuhan, Kompolnas Minta Polisi dan Pendemo Menahan Diri dan Tak Emosi

Ketentuan tersebut dinilai menjadi penting, karena kasus-kasus keterlanjuran yang ditemukan menyangkut hak hidup orang banyak secara turun temurun, dan dibutuhkan kepastian berusaha untuk menjaga stabilitas ekonomi daerah.

"Keterlanjuran harus ditertibkan dengan peraturan yang tegas, terang, dan adil bagi semua pihak. UU Omnibus Law mengakomodir semua hal itu!," ucap Siti Nurbaya Bakar.

Kemudian poin keempat yang berkenaan dengan klaster Penyederhanaan Perizinan Berusaha, dia pun menyesalkan dengan adanya narasi mengenai UU Cipta Kerja yang menghilangkan Analasis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL).

Baca Juga: Ridwan Kamil Ikut Tolak Omnibus Law, Teddy Gusnadi: Sebaiknya Mundur Saja Sebagai Kepala Daerah

"Dengan menggabungkan pengurusan izin AMDAL dengan pengurusan perizinan berusaha, jika perusahaan melanggar, maka pemerintah bisa mencabut keduanya sekaligus," tutur Siti Nurbaya Bakar.

Terakhir, mengenai kekhawatiran beberapa kalangan bahwa kewajiban kawasan hutan 30 persen hilang dalam Omnibus Law juga sangat tidak tepat.

Justru dalam UU Omnibus Law tersebut telah dimasukkan dalam kewajiban pertimbangan bio-geofisik dan sosiologi masyarakat, sebagai pertimbangan untuk penggunaan dan pemanfaatan selain pertimbangan daya dukung serta daya tampung.

Baca Juga: Drama Korea Terbaru 2020, Comeback Bae Suzy dan Krystal Paling Ditunggu-tunggu

kewajiban kawasan hutan dapat lebih ketat daripada hanya mengenai angka 30 persen.

"Artinya, implikasi kewajiban memiliki dan menjaga kawasan hutan, akan lebih ketat dalam aspek sustainability dan penerapan tools untuk itu, seperti Kajian Lingkungan Hidup Startegis (KLHS)," tutur Siti Nurbaya Bakar.

Dia melanjutkan, termasuk juga alat-alat analisis pengaruh terhadap rantai kehidupan, seperti rantai pangan, rantai energi, siklus hidrologi, rantai karbon, dan lain-lain, atau disebut juga sebagai Life Cycle Assessment (LCA) yang sudah diawali oleh KLHK.***

Editor: Ikbal Tawakal


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x