Refly Harun juga menilai bahwa penggunaan UU ITE untuk membungkap sikap kritis sama dengan mencederai kebebasan berpendapat. Menurutnya, hal ini merupakan cerminan negara otoriter.
“Kalau kita menjadi sama maka Negara kita adalah Negara yang gelap Negara yang otoriter negara yang tidak lagi menghargai perbedaan pendapat."
Baca Juga: Tak Puas dengan Penjelasan Menaker Mengenai UU Cipta Kerja, SPSI: Transparansi yang Dibutuhkan
Selain itu, ia menjelaskan bahwa kecenderungan sikap diktator rezim Jokowi-Ma’ruf tercermin melalui substansi konstitusi yang tidak berjalan.
"Jadi konstitusional diktatorship itu adalah prosedur-prosedur sumber konstitusi itu dipakai. Tapi, hanya prosedurnya saja, substansinya tidak," katanya.
Refly Harun juga mengungkapkan kekhawatirannya jika kebijakan rezim Jokowi-Ma’ruf ke depan tidak membawa semangat reformasi. Menurutnya, hal itu sama dengan kembali ke masa otoriter.
Baca Juga: Saudi Berikan Jutaan Dolar untuk Percepat Normalisasi Sudan dengan Israel
"Saya tidak ingin masa itu terulang kembali pada era saat ini terutama era pemerintahan Jokowi dan jangan sampai presiden Jokowi justru meninggalkan warisan sebagai pemimpin yang menggerakkan kembali ilham otoritarianisme di negara ini," tuturnya.
Refly Harun mengungkap bahwa menjalankan demokrasi di Indonesia tidak mudah. Demokrasi baru berjalan setelah menempuh jalan yang sulit, yakni reformasi pada tahun 1998, yang mengorbankan air mata dan darah manusia.
"Membangun demokrasi ini tidak mudah penuh dengan darah dan air mata dan juga korban nyawa dari syuhada syuhada reformasi tahun 98," katanya.***