Sementara, Nahdlatul Ulama (NU) adalah salah satu organisasi massa Islam yang sangat berperan dalam pembentukan Masyumi.
Tokoh NU, KH Hasyim Asy'arie, terpilih sebagai pimpinan tertinggi Masyumi pada saat itu. Tokoh-tokoh NU lainnya banyak yang duduk dalam kepengurusan Masyumi dan karenanya keterlibatan NU dalam masalah politik menjadi sulit dihindari.
Baca Juga: Tambah Wawasan Politik, Simak 7 Fakta Kamala Harris Wapres AS Terpilih yang Dampingi Joe Biden
Kemudian, NU ke luar dari Masyumi melalui surat keputusan Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) pada tanggal 5 April 1952 akibat adanya pergesekan politik di antara kaum intelektual Masyumi yang ingin melokalisasi para kiai NU pada persoalan agama saja.
Selama periode demokrasi liberal, para anggota Masyumi duduk di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan beberapa anggota dari partai ini terpilih sebagai Perdana Menteri Indonesia, seperti Muhammad Natsir dan Burhanuddin Harahap.
Hasil penghitungan suara pada Pemilu 1955 menunjukkan bahwa Masyumi mendapatkan suara yang signifikan dalam percaturan politik pada masa itu.
Masyumi menjadi partai Islam terkuat, dengan menguasai sebanyak 20,9 persen suara dan menang di 10 dari 15 daerah pemilihan, termasuk Jakarta Raya, Jawa Barat, Sumatra Selatan, Sumatra Tengah, Sumatra Utara, Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan, Sulawesi Tenggara Selatan, dan Maluku.
Baca Juga: Pernah Berjaya Jadi Partai Islam Terbesar, Pengamat: Masyumi Akan Sulit Gaet NU dan Muhammadiyah
Namun, di Jawa Tengah, Masyumi hanya mampu meraup sepertiga dari suara yang diperoleh PNI dan di Jawa Timur hanya setengahnya.
Diketahui bahwa kondisi ini menyebabkan hegemoni penguasaan Masyumi secara nasional tak terjadi.