Tarif Cukai Rokok Naik 12,5 Persen, Sri Mulyani Ingatkan: Rokok Akan Semakin Mahal dan Tak Terbeli!

- 11 Desember 2020, 08:54 WIB
Pedagang menunjukkan bungkus rokok bercukai di Jakarta.
Pedagang menunjukkan bungkus rokok bercukai di Jakarta. /ANTARA/Aprillio Akbar/ANTARA

PR BEKASI - Kementerian Keuangan (Kemenkeu) telah resmi menetapkan bahwa tarif cukai rokok akan mengalami kenaikan sebesar 12,5 persen pada 2021 mendatang.

Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati mengatakan, kebijakan tersebut telah sesuai dengan visi dan misi Presiden Joko Widodo (Jokowi).

Dengan adanya kebijakan tersebut, Jokowi ingin meningkatkan sumber daya manusia (SDM) dan juga menjadikan Indonesia sebagai bangsa yang unggul.

Baca Juga: Menyedihkan! Hadapi Tuduhan Selingkuh, Bill Clinton Gelisah Hillary Ajukan Gugatan Cerai

“Kita akan naikkan cukai rokok sebesar 12,5 persen. Kebijakan ini merupakan komitmen kita untuk terus berupaya menyeimbangkan berbagai aspek dari cukai hasil tembakau (CHT),” katan Sri Mulyani di Jakarta, yang dikutip Pikiranrakyat-Bekasi.com dari Antara, Jumat, 11 Desember 2020.

Sri Mulyani merinci, untuk industri yang memproduksi sigaret putih mesin (SPM) golongan I naik 18,4 persen, sigaret putih mesin golongan II A naik 16,5 persen, dan sigaret putih mesin naik II B naik 18,1 persen.

Kemudian, untuk sigaret kretek mesin (SKM) golongan I naik 16,9 persen, sigaret kretek mesin II A naik 13,8 persen, dan sigaret kretek mesin II B naik 15,4 persen.

Sedangkan untuk industri sigaret kretek tangan, tarif cukainya tidak berubah atau tidak dinaikkan, yang artinya kenaikannya nol persen karena memiliki unsur tenaga kerja terbesar.

Baca Juga: Menyedihkan! Hadapi Tuduhan Selingkuh, Bill Clinton Gelisah Hillary Ajukan Gugatan Cerai

“Dengan komposisi tersebut maka rata-rata kenaikan tarif cukai adalah 12,5 persen,” ujar Sri Mulyani.

Sri Mulyani menjelaskan, pemerintah tidak melakukan simplifikasi golongan karena strategi yang diterapkan adalah pengecilan celah tarif antara SKM golongan II A dengan SKM golongan II B serta SPM golongan II A dan SPM golongan II B.

“Jadi meski kita tidak melakukan simplifikasi secara drastis atau menggabungkan golongan, tapi kami memberikan sinyal ke industri bahwa celah tarif antara II A dan II B untuk SKM maupun SPM semakin diperkecil atau didekatkan tarifnya,” tutur Sri Mulyani.

Sri Mulyani juga mengatakan, untuk besaran harga banderol atau harga jual eceran di pasaran adalah sesuai dengan kenaikan dari tarif masing-masing kelompok tersebut.

Baca Juga: Jangan Takut! Siapa pun yang Berlaku Tak Adil dan Sembunyikan Fakta, Ini Peringatan dari Allah SWT

Dia menjelaskan, berbagai kebijakan tersebut dilakukan dalam rangka mengendalikan konsumsi produk hasil tembakau, karena dalam RPJMN (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional) preferensi merokok khususnya usia 10 sampai 18 tahun ditargetkan turun 8,7 persen pada 2024.

“Kenaikan CHT akan menyebabkan rokok menjadi lebih mahal atau affordability index, naik dari tadinya 12,2 persen menjadi antara 13,7 hingga 14 persen sehingga makin tidak terbeli,” tuturnya.

Tak hanya itu, menurut Sri Mulyani, kebijakan itu juga dilakukan dalam rangka menjaga 158.552 tenaga kerja di pabrik rokok langsung, terutama yang terkonsentrasi pada industri rokok kretek tangan.

Baca Juga: Beri Pesan untuk Ormas Islam, Wamenag: Dakwah Itu Menasihati, Bukan Memaki-maki

Selain itu, pemerintah turut menjaga dari sisi petani penghasil tembakau dengan jumlah 526.389 keluarga atau setara 2,6 juta orang yang bergantung pada pertanian tembakau.

“Besaran kenaikan tarif cukai memperhatikan tingkat serapan tembakau dari petani lokal, dengan demikian 526 ribu kepala keluarga yang menggantungkan hidup dari pertanian tembakau bisa tidak terancam oleh kenaikan CHT,” ucapnya.

Pemerintah juga turut mempertimbangkan aspek industri, yaitu kebijakan bagi UMKM akan diberikan pemihakan melalui alokasi dana bagi hasil (DBH) CHT terutama untuk pembentukan kawasan industri hasil tembakau (KIHT) yang bertujuan memberikan lokasi bagi UMKM sekaligus mengawasi peredaran rokok ilegal.

“Kalau harga rokok dan CHT semakin tinggi, maka memberikan insentif bagi masyarakat memproduksi rokok ilegal yakni rokok yang diproduksi dan diedarkan tidak legal dengan tidak bayar cukai. Semakin tinggi cukainya maka insentif melakukan tindakan ilegal semakin tinggi,” tutur Sri Mulyani.***

Editor: M Bayu Pratama

Sumber: ANTARA


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah