Keturunan Nabi Bisa Jadi Pangkal Kesombongan, Simak Tabiat Habib yang Tak Boleh Diikuti

16 November 2020, 20:43 WIB
Ilustrasi kaligrafi nama Nabi Muhammad SAW. /PIXABAY/

PR BEKASI - Sebutan Habib saat ini kerap menjadi topik hangat di Indonesia setelah kepulangan imam besar Front Pembela Islam (FPI) Habib Rizieq Shihab dari tanah suci Makkah, Arab Saudi.

Habib atau sayyid adalah sebutan atau gelar penghormatan dari masyarakat untuk mereka yang memiliki garis keturunan (nasab) yang bersambung hingga Rasulullah Muhammad SAW.

Secara nasab para habib (habaib) itu jelas sangatlah mulia dan umat Islam wajib memuliakan dan menghormati mereka. Merendahkan dan menghina nasab mereka merupakan perbuatan tercela dan berdosa.

Baca Juga: Sembunyikan Pertemuan dengan Djoko Tjandra dari sang Suami yang Polisi, Pinangki: Bukan Urusan Kamu

Tidak boleh memandang rendah atau meremehkan nasab (garis keturunan) habib kecuali mereka yang berpenyakit hati seperti sombong dan dengki.

Dikutip Pikiranrakyat-Bekasi.com dari Islam.co, Senin, 16 November 2020, meskipun habib itu bernasab Rasulullah SAW, mereka juga manusia yang memiliki berbagai kelebihan dan tentu saja kekurangan.

Berbeda dari para Nabi dan Rasul, para habib itu tidak terjaga (ma’shum) dari melakukan kesalahan, maksiat atau dosa. Sebagai manusia, para keturunan (dzurriyyat) Nabi itu ada yang berakhlak sangat mulia atau ada pula yang tidak.

Baca Juga: Jangan Takut Bubarkan Kerumunan! Jokowi: Kesehatan Rakyat Hukum Tertinggi

Sangat banyak dari mereka yang mendalami ilmu agama, baik yang lahir maupun yang batin, sehingga banyak yang menjadi ulama besar, sangat terkenal luas ilmunya dan sangat berjasa bagi dunia Islam, menjadi kekasih-kekasih (awliya’) Allah dan menghabiskan sepanjang usianya untuk berkhidmat kepada umat dan agama.

Mereka yang berakhlak mulia dan sangat mendalam ilmu agamanya inilah yang patut untuk didengar petuahnya dan diteladani perilaku baiknya.

Tentu saja di antara yang bernasab mulia itu ada yang tidak boleh kita teladani perilakunya, seperti karena kurang berilmu, akhlaknya buruk, gila hormat, senang dipuji, bersikap kasar, jauh dari sifat tawadu, dan ada juga yang ceramah agamanya hanya berisi provokasi dan caci maki sana sini.

Baca Juga: Presiden Jokowi Minta Tito Karnavian Tegur Kepala Daerah yang Mengizinkan Kerumunan

Habib pada masa lalu berjasa besar membawa ajaran Islam masuk ke Indonesia. Islam telah masuk untuk pertama kalinya ke Indonesia pada abad pertama Hijriah langsung ke pesisir Sumatera dari negeri Arab.

Diketahui Islam dibawa oleh golongan Alawiyyin keturunan Sayyidina Hasan dan Husein bin Ali, baik yang berasal dari Makkah-Madinah maupun yang kemudian menetap di Yaman dan sekitarnya.

Jadi, tanpa mereka (habib) pada masa itu mungkin kita sekarang tidak pernah mengenal dan bersentuhan dengan Islam. Oleh karena itu, kita wajib bersyukur kepada Allah, berterima kasih dan tentu menghormati keturunan mereka seluruhnya.

Baca Juga: Jumhur dan Gus Nur Positif Covid-19, Fadli Zon: Siapa yang Tanggung Jawab, Pak Mahfud?

Memuji habib yang alim, memiliki basirah (ketajaman mata hati), mengenal Allah dan sadar diri merupakan sebuah keharusan, sebagaimana Rasulullah SAW pernah memuji sebagian sahabatnya dan seperti sahabat pernah memuji sahabat lainnya di hadapan beliau.

Sebaliknya, kita jangan pernah melontarkan sekerat pujian kepada habib yang jahil, yang sering kali tertipu oleh perasaannya sendiri, yang tidak punya bashirah dalam beragama, tidak punya pengetahuan dan keyakinan kuat, karena pujian itu pasti merusak hatinya dan itu hanya menambah keangkuhannya.

Sudah berapa banyak pujian dan rasa kagum tetap dilontarkan kalangan awam muslim kepada orang yang digelari habib padahal terdapat habib yang bergelimang dalam dosa dan menyimpang terlalu jauh dari rel ajaran mulia kakeknya, Rasulullah SAW.

Baca Juga: Figur Habib Rizieq Menurut Rocky Gerung: Walaupun Radikal, Kemampuan Intelektualnya Luar Biasa

Lalu, orang-orang awam itu seenaknya menjawab bahwa tidak mengapa habib melakukan dosa dan kesalahan, karena kelak Rasulullah SAW pasti memberikan syafaat (pertolongan) kepada mereka, barangkali tidak mengapa mereka itu berbuat dosa.

Ucapan demikian ini sangatlah keji, pengucapnya mencelakai diri sendiri dan sangat merusak hati para habib yang kurang berilmu (jahil).

Dalam Al-Qur'an ada ayat yang menunjukkan bahwa ahl al-bait (keluarga Nabi) itu dilipat gandakan pahalanya atas kebajikan yang dikerjakan, sebagaimana juga dilipat gandakan dosanya atas keburukan (maksiat) yang dilakukannya.

Baca Juga: Datangi Jokowi di Hari Toleransi Dunia, Komnas HAM Bahas Praktik Larangan Pendirian Rumah Ibadah

Siapa saja yang mengatakan atau menduga bahwa meninggalkan ketaatan-ketaatan atau melakukan aneka kemaksiatan itu tidak membahayakan seorang pun karena kemuliaan nasabnya atau karena kesalehan para orang tuanya, maka sungguh ia telah berdusta atas nama Allah dan menyimpang dari ijma' al-muslimin (konsensus ulama dari kaum muslim).

Kepada para habib terutama yang bila nyata-nyata tidak sejalan dengan para pendahulu mereka yang suci maka tetap kita cintai dan kita hormati karena kekerabatan nasab kepada Rasulullah SAW.

Adapun wujud kecintaan dan penghormatan kepada habib itu antara lain bagi yang mampu dan patut hendaknya dengan memotivasi dan mengingatkan mereka agar meneladani para pendahulu mereka baik dalam ilmu maupun kesalehan, akhlak yang mulia, perilaku yang terpuji.

Baca Juga: Anies Baswedan: Sanksi Rp50 Juta untuk HRS Bukan Basa-basi

Sesungguhnya nasab semata tidaklah bermanfaat dan tidak meninggikan martabat seseorang bila tidak diiringi oleh ketakwaan. Bila nasab orang yang mulia itu tidak mampu menunjukkan kemuliaan jiwa seperti para pendahulunya, maka patutkah seseorang itu hanya membangga-banggakan nasab sepanjang hayatnya?

Nasab termasuk salah satu dari tujuh sebab kesombongan. Sombong (merasa lebih baik) adalah penyakit Iblis, yakni menolak kebenaran dan merendahkan orang lain. Sesungguhnya yang paling mulia menurut Allah hanyalah yang paling takwa kepada-Nya.***

Editor: Ikbal Tawakal

Sumber: islami.co

Tags

Terkini

Terpopuler