PR BEKASI – Kebijakan Pemerintah China yang memberlakukan undang-undang (UU) "Coast Guard" (Penjaga Pantai) pada Jumat, 22 Januari 2021 yang mengatur penggunaan kekerasan oleh penjaga pantai diprediksi memicu ketegangan di wilayah Laut Natuna Utara.
Hal tersebut dikatakan oleh Dekan Fakultas Hukum Universitas Pancasila Prof Eddy Pratomo dalam keterangannya, Senin, 25 Januari 2021.
Menurutnya pria yang juga merupakan Guru Besar Hukum Internasional Universitas Diponegoro Semarang tersebut, UU tersebut sangat ekspansif karena China tidak mempunyai wewenang untuk mengatur kawasan Laut Natuna Utara.
Baca Juga: 153 Warga China Tiba di Indonesia Saat Larangan Masuk WNA, Imigrasi: Mereka Termasuk yang Diizinkan
"Undang-undang tersebut sangat ekspansif dan mengatur wilayah perairan di Laut Natuna Utara yang tidak berdasarkan Hukum Internasional, khususnya Hukum Laut Internasional," katanya, dikutip Pikiranrakyat-Bekasi.com dari Antara.
UU tersebut memungkinkan China mengambil tindakan yang diperlukan, termasuk penggunaan senjata ketika kedaulatan nasional, hak kedaulatan, dan yurisdiksi dilanggar secara ilegal oleh organisasi atau individu asing di laut.
Eddy Pratomo mengatakan ruang lingkup UU ini secara implisit menegaskan kembali, klaim yang dikaitkan dengan prinsip sembilan garis putus-putus adalah klaim yang tidak memiliki dasar hukum.
Oleh karena itu, hal tersebut tidak dapat dijadikan pegangan dalam mengatur suatu wilayah di Laut Natuna Utara.
Hal ini terlihat dari penggunaan istilah yang ambigu tentang ruang lingkup berlakunya UU ini yang memasukkan "other waters under the jurisdiction of the PRC" dan "internal sea".
Kalimat "other waters under the jurisdiction of the PRC" dan "internal sea" sangat rancu dan dicurigai sebagai klaim terselubung yang dikenal dengan sembilan garis putus putus (nine dashed line) yang sudah dinyatakan tidak sah oleh Tribunal UNCLOS LCS pada tahun 2016.
Baca Juga: Media Singapura Soroti Hutan Bakau Jakarta yang Terancam Hancur Akibat Perubahan Iklim
Menanggapi kekhawatiran tersebut, juru bicara Kementerian Luar Negeri China Hua Chunying mengatakan bahwa undang-undang tersebut sejalan dengan praktik internasional.
"Pasal pertama RUU tersebut menjelaskan bahwa undang-undang tersebut diperlukan untuk menjaga kedaulatan, keamanan, dan hak maritim China," katanya.
Undang-undang ini muncul tujuh tahun setelah China menggabungkan beberapa lembaga penegak hukum maritim sipil untuk membentuk biro penjaga pantai.
Setelah biro penjaga pantai berada di bawah komando Polisi Bersenjata Rakyat pada 2018, biro itu menjadi cabang kekuatan militer yang tepat.
Langkah terbaru China juga dapat memperumit hubungannya dengan Amerika Serikat, yang mempertahankan aliansi strategis dengan beberapa negara Asia-Pasifik, termasuk Jepang, Filipina, Vietnam, dan Indonesia, yang memiliki klaim maritim yang bersaing dengan Beijing.
Menurut Christian Le Miere, seorang analis diplomasi maritim dan pendiri kelompok yang berbasis di London dan Den Haag, Arcipel, mengatakan undang-undang baru itu "menyerang jantung" dari kebijakan kebebasan navigasi AS di Laut Natuna Utara.
Baca Juga: Kado Manis Luis Suarez di Hari Ulang Tahun, Bantu Jauhkan Atletico Madrid dari Dua Raksasa
"Penjaga Pantai China sudah melakukan sebagian besar tugas berat dalam pemaksaan maritim di laut dekat, jadi ada baiknya memeriksa undang-undang baru yang baru saja disahkan tentang masalah ini," katanya
Pengadilan Internasional di Den Haag telah membatalkan klaim sembilan garis putus China, yang menegaskan kendali sebagian besar Laut Natuna Utara.***