Pemilihan Presiden Berujung Sengketa, Sekitar 3.200 Warga Pantai Gading Ngungsi ke Negara Tetangga

4 November 2020, 15:51 WIB
Presiden Pantai Gading Alassane Ouattara. /The National News/

PR BEKASI – Pelaksanaan Pemilihan Presiden di tiap negara biasanya kerap menimbulkan perdebatan di tiap para pendukungnya.

Perdebatan semacam itu sebetulnya merupakan hal yang wajar bagi negara yang menganut sistem demokrasi. Namun, berbeda dengan yang terjadi di Pantai Gading, Afrika Barat.

Sekira 3.200 warga Pantai Gading melarikan diri dari negaranya dan mengungsi di Liberia, Ghana, dan Togo, akibat bentrok antara aparat dan masyarakat yang menolak hasil pemilihan presiden pada 31 Oktober 2020, demikian laporan PBB saat jumpa pers.

Baca Juga: Gerobak Mapan, Wujud Sinergi ShopeePay dan Kitabisa.com untuk Bantu Pulihkan UMKM Saat Pandemi

"Lebih dari 3.200 warga Pantai Gading mengungsi di Liberia, Ghana, dan Togo. Sebagian besar pengungsi merupakan perempuan dan anak-anak dari wilayah barat dan barat daya Pantai Gading," kata Juru Bicara UNHCR, Boris Cheshirkov, saat jumpa pers, Selasa, 3 November 2020, dikutip Pikiranrakyat-Bekasi.com dari Antara.

"Beberapa dari mereka merupakan eks pengungsi yang baru saja dipulangkan, tetapi terpaksa kembali melarikan diri," sambungnya.

Presiden Pantai Gading Alassane Ouattara kembali memenangkan pemilihan presiden bulan lalu dan ia pun menjabat untuk tiga periode berturut-turut.

Baca Juga: Ungguli Donald Trump di Poling Nasional, Simak Profil Joe Biden yang Kehilangan Anak dan Istrinya

Walaupun demikian, kata dia, kalangan oposisi menolak kemenangan Ouattara dan memboikot hasil pilpres. Penolakan itu juga diiringi oleh unjuk rasa dari ribuan warga Pantai Gading yang akhirnya berujung ricuh.

Bentrok antara aparat dan massa aksi mengakibatkan setidaknya belasan orang tewas dan banyak warga luka-luka, kata Cheshirkov saat membacakan laporan terbaru UNHCR terkait situasi di Pantai Gading.

Meskipun ada unjuk rasa, Komisi Pemilihan Umum Pantai Gading pada Senin, 2 November 2020 tetap mengumumkan kemenangan Ouatttara pada pemilihan presiden tahun ini dengan perolehan suara 94.27 persen.

Baca Juga: Perkuat Ekonomi Nasional, Sri Mulyani Sebut Perlu Adanya Reformasi Struktural

"Terkait dengan situasi di lapangan, kami menerima sejumlah laporan belasan orang tewas dan banyak warga luka-luka, dan insiden itu mengingatkan banyak orang terhadap peristiwa kerusuhan pada 2010-2011 yang menyebabkan 3.000 orang tewas, lebih dari 300.000 orang melarikan diri dari wilayah konflik, dan sekitar satu juta warga terusir paksa dari rumahnya," tuturnya.

Tidak jauh berbeda dengan yang terjadi belum lama ini, kerusuhan saat 2010-2011 juga terjadi akibat sengketa hasil pemilihan presiden.

"Sejauh ini, kami masih memeriksa data para pengungsi dan ke mana tujuan mereka. Oleh karena itu, kami meningkatkan kapasitas pendataan dan pelacakan dengan mengerahkan lebih banyak staf ke lapangan," kata juru bicara UNHCR.

Baca Juga: Rizieq Shihab Pulang Kampung: Saya Akan Tuntut secara Hukum Pihak yang Bilang Saya Overstay

Dalam kesempatan itu, Cheshirkov atas nama UNHCR dan PBB menyambut baik serta mengucapkan terima kasih kepada tiga negara tetangga Pantai Gading, yaitu Ghana, Togo, dan Liberia yang bersedia membuka perbatasan dan menerima para pengungsi, meskipun di tengah situasi pandemi COVID-19.

UNHCR berkomitmen meningkatkan koordinasi dan memperkuat kerja sama dengan negara negara tujuan para pengungsi untuk menyusun rencana lebih lanjut, termasuk jika nantinya krisis politik di Pantai Gading kian memburuk, menurut Cheshirkov.

Terkait kerusuhan di Pantai Gading, Sekretaris Jenderal PBB António Guterres telah mendesak seluruh pihak untuk berhenti memicu kekerasan, menyebarkan berita bohong, dan menggunakan ujaran kebencian.

Baca Juga: Kali Pertama Bertemu dengan Tukang Bakso yang Mirip Dirinya, Raffi Ahmad: Kita Kuliahin, Mau Nggak?

Guterres juga mendorong pihak-pihak yang berkonflik agar berdialog demi menyelesaikan sengketa hasil pilpres.***

Editor: Ikbal Tawakal

Sumber: ANTARA

Tags

Terkini

Terpopuler