Tragis, Hanya Karena Bekerja di Kepolisian, Wanita Ini Ditembaki dan Diserang Hingga Alami Kebutaan

10 November 2020, 19:55 WIB
Ilustrasi penembakan /

PR BEKASI - Hal terakhir yang dilihat Khatera, wanita berusia 33 tahun, adalah tiga pria dengan sepeda motor yang tega menyerangnya.

Peristiwa nahas itu terjadi tepat setelah dia menyelesaikan pekerjaannya di sebuah kantor polisi di Provinsi Ghazni di Afghanistan tengah.

Diketahui bahwa para pria itu menembaki dan menusuk matanya dengan pisau dan ketika ia bangun di rumah sakit, semuanya gelap.

Baca Juga: Jadi Kapolri Pertama, Jenderal Soekanto Awali Kepemimpinan Tanpa Kantor dan Staf

"Saya bertanya kepada dokter, mengapa saya tidak bisa melihat apa-apa? Mereka mengatakan kepada saya bahwa mata saya masih diperban karena luka. Tapi saat itu, saya tahu mata saya telah diambil," katanya, dikutip oleh Pikiranrakyat-Bekasi.com dari Reuters pada Selasa, 10 November 2020

Atas peristiwa tersebut, ia dan otoritas lokal menyalahkan militan Taliban yang melakukan serangan itu dan mengatakan bahwa para penyerang bertindak atas petunjuk dari ayahnya, yang secara keras menentang dia bekerja di luar rumah.

Namun, atas tuduhan tersebut pihak Taliban menyangkal terlibat dalam serangan itu.

Bagi Khatera, serangan itu tidak hanya menyebabkan penglihatannya hilang. Tetapi, juga ia kehilangan impian yang telah ia perjuangkan, yakni untuk memiliki karier mandiri.

Baca Juga: Diberi Gelar Pahlawan oleh Jokowi, Jendral Soekanto Ternyata Pernah Tolak Nama Pemberian Belanda

Diketahui, beberapa bulan lalu ia bergabung dengan kepolisian Ghazni sebagai petugas di divisi kejahatan.

"Saya berharap saya pernah bertugas di kepolisian setidaknya satu tahun. Jika ini terjadi pada saya setelah itu, itu akan tidak terlalu menyakitkan. Ini terjadi terlalu cepat. Saya baru bekerja dan mewujudkan impian saya selama tiga bulan," katanya.

Menurut para aktivis hak asasi manusia, serangan terhadap Khatera, yang hanya menggunakan satu nama, menunjukkan kecenderungan yang berkembang menyangkut reaksi yang intens dan sering kali kekerasan terhadap perempuan yang bekerja, terutama dalam peran publik.

Sementara, para aktivis HAM meyakini bahwa peningkatan kekerasan itu merupakan campuran norma-norma sosial konservatif Afghanistan dan Taliban yang semakin berani.

Baca Juga: Peringati Hari Pahlawan, Kementerian BUMN Beri Beasiswa 2.200 Anak Berprestasi Anggota TNI-Polri

Selain itu, juga mendapatkan pengaruh pada saat Amerika Serikat menarik pasukannya dari negara itu.

Diketahui, Taliban saat ini sedang bernegosiasi di Doha, Qatar, dengan pemerintah Afghanistan untuk berupaya membuat kesepakatan damai.

Banyak pihak memperkirakan Taliban akan secara resmi kembali berkuasa, tetapi proses perundingan berjalan lambat.

Selain itu, telah terjadi peningkatan pertempuran dan serangan terhadap para pejabat dan wanita terkemuka di Afghanistan.

Baca Juga: Apresiasi Sikap Mahfud MD yang Lindungi Hak Habib Rizieq, Fadli Zon: Beginilah Seharusnya Pemerintah

"Meskipun situasi perempuan Afghanistan dalam peran publik selalu berada dalam bahaya, lonjakan kekerasan baru-baru ini di seluruh negeri telah memperburuk keadaan," kata Samira Hamidi, juru kampanye Amnesty International Afghanistan.

"Langkah-langkah besar menyangkut hak-hak perempuan di Afghanistan selama lebih dari satu dekade tidak boleh menjadi korban dari kesepakatan damai apa pun dengan Taliban," katanya

Atas peristiwa nahas yang menimpanya, Khatera merasa bahwa impiannya hancur sebagai seorang anak yang ingin bekerja di luar rumah.

Setelah bertahun-tahun berusaha meyakinkan ayahnya, tetapi tidak berhasil, meski ia mendapatkan dukungan dari suaminya.

Baca Juga: Timbulkan Kemacetan, Pengguna Jembatan Kali Cakung Kalimalang Siap-siap Cari Alternatif

Namun, sang ayah, menurutnya, tidak menyerah untuk menentang keinginan putrinya.

"Sering kali, saat saya pergi bertugas, saya melihat ayah saya mengikuti saya, dia mulai menghubungi Taliban di daerah sekitar dan meminta mereka untuk mencegah saya pergi ke tempat saya bekerja," katanya.

Khatera mengatakan, ayahnya memberi salinan kartu identitasnya kepada Taliban, untuk membuktikan bahwa putrinya bekerja untuk polisi.

Juru bicara kepolisian Ghazni mengonfirmasi bahwa mereka yakin Taliban berada di balik serangan itu dan bahwa ayah Khatera telah ditahan.

Hingga saat ini ayah Khatera tidak dapat dihubungi secara langsung untuk dimintai keterangan.

Baca Juga: Pernah Angkut 87 Pasien Covid-19 Sehari, Simak Kisah Relawan Perempuan Pertama Jadi Sopir Ambulans

Seorang juru bicara Taliban mengatakan kelompok itu mengetahui kasus tersebut, tetapi itu adalah masalah keluarga dan mereka tidak terlibat.

Khatera dan keluarganya, termasuk lima anaknya, sekarang bersembunyi di Kabul, tempat ia memulihkan diri dan berduka atas kehilangan kariernya.

Ia sulit tidur, melompat ketika ia mendengar suara sepeda motor. Ia juga terpaksa memutuskan kontak dengan keluarga besarnya, termasuk ibunya, yang menyalahkan Khatera atas penangkapan ayahnya.

Khatera sangat berharap seorang dokter di luar negeri, entah bagaimana caranya, bisa memulihkan sebagian penglihatannya.

Baca Juga: Petani Kopi Asal Papua dapat Bantuan dari Pemerintah Inggris

"Jika memungkinkan, saya bisa melihat lagi, saya akan melanjutkan pekerjaan saya dan bertugas di kepolisian lagi," katanya.

Khatera menambahkan bahwa ia membutuhkan penghasilan untuk menghindari kemiskinan.

"Tapi alasan utamanya adalah hasrat saya untuk bekerja di luar rumah," katanya menambahkan.***

Editor: M Bayu Pratama

Sumber: Reuters

Tags

Terkini

Terpopuler