Hal ini terlihat dari penggunaan istilah yang ambigu tentang ruang lingkup berlakunya UU ini yang memasukkan "other waters under the jurisdiction of the PRC" dan "internal sea".
Kalimat "other waters under the jurisdiction of the PRC" dan "internal sea" sangat rancu dan dicurigai sebagai klaim terselubung yang dikenal dengan sembilan garis putus putus (nine dashed line) yang sudah dinyatakan tidak sah oleh Tribunal UNCLOS LCS pada tahun 2016.
Baca Juga: Media Singapura Soroti Hutan Bakau Jakarta yang Terancam Hancur Akibat Perubahan Iklim
Menanggapi kekhawatiran tersebut, juru bicara Kementerian Luar Negeri China Hua Chunying mengatakan bahwa undang-undang tersebut sejalan dengan praktik internasional.
"Pasal pertama RUU tersebut menjelaskan bahwa undang-undang tersebut diperlukan untuk menjaga kedaulatan, keamanan, dan hak maritim China," katanya.
Undang-undang ini muncul tujuh tahun setelah China menggabungkan beberapa lembaga penegak hukum maritim sipil untuk membentuk biro penjaga pantai.
Setelah biro penjaga pantai berada di bawah komando Polisi Bersenjata Rakyat pada 2018, biro itu menjadi cabang kekuatan militer yang tepat.
Langkah terbaru China juga dapat memperumit hubungannya dengan Amerika Serikat, yang mempertahankan aliansi strategis dengan beberapa negara Asia-Pasifik, termasuk Jepang, Filipina, Vietnam, dan Indonesia, yang memiliki klaim maritim yang bersaing dengan Beijing.
Menurut Christian Le Miere, seorang analis diplomasi maritim dan pendiri kelompok yang berbasis di London dan Den Haag, Arcipel, mengatakan undang-undang baru itu "menyerang jantung" dari kebijakan kebebasan navigasi AS di Laut Natuna Utara.