PR BEKASI – Perdana Menteri Libya yang diakui secara internasional, Fayez al-Sarraj, pada Rabu, 16 September 2020 mengatakan bahwa dirinya akan mundur akhir Oktober 2020 mendatang.
Pernyataan keinginannya untuk mengundurkan diri itu kemungkinan akan menimbulkan ketegangan politik di Tripoli.
Pasalnya, pernyataan tersebut datang di tengah upaya baru untuk menyelesaikan konflik di negara tersebut.
Baca Juga: Pertashop Hadir di Bekasi dan Purwasuka, Upaya Pertamina Hadirkan BBM Berkualitas di Pedesaan
"Saya mengatakan keinginan tulus untuk menyerahkan tugas saya kepada otoritas eksekutif berikutnya, paling lambat akhir Oktober," kata Fayez al-Sarraj dalam pidato yang disiarkan di televisi, sebagaimana dikutip Pikiranrakyat-Bekasi.com dari Antara, Kamis, 17 September 2020.
Merujuk pada pembicaraan yang diawasi oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) di Jenewa, ia mengakui bahwa ada kemajuan dalam menyetujui acara untuk menyatukan perpecahan di negaranya serta mempersiapkan pemilihan.
Sarraj diketahui sebagai Kepala Pemerintah Kesepakatan Nasional (GNA), yang berbasis di Tripoli.
Baca Juga: 47 Tahun Tinggal di Rumah Reyot, Akhirnya Nenek Hasnia Dapat Uluran Tangan Pemerintah
Sementara Libya timur dan sebagian besar wilayah selatan dikendalikan oleh Tentara Nasional Libya (LNA) pimpinan Khalifa Haftar.