PM Libya Ingin Mengundurkan Diri Akhir Oktober Mendatang, Ketegangan Politik Diduga Bisa Terjadi

- 17 September 2020, 13:51 WIB
Fayez al-Sarraj, Perdana Menteri Libya menyatakan akan mengundurkan diri pada Oktober mendatang.
Fayez al-Sarraj, Perdana Menteri Libya menyatakan akan mengundurkan diri pada Oktober mendatang. /Aljazeera/

PR BEKASI – Perdana Menteri Libya yang diakui secara internasional, Fayez al-Sarraj, pada Rabu, 16 September 2020 mengatakan bahwa dirinya akan mundur akhir Oktober 2020 mendatang.

Pernyataan keinginannya untuk mengundurkan diri itu kemungkinan akan menimbulkan ketegangan politik di Tripoli.

Pasalnya, pernyataan tersebut datang di tengah upaya baru untuk menyelesaikan konflik di negara tersebut.

Baca Juga: Pertashop Hadir di Bekasi dan Purwasuka, Upaya Pertamina Hadirkan BBM Berkualitas di Pedesaan

"Saya mengatakan keinginan tulus untuk menyerahkan tugas saya kepada otoritas eksekutif berikutnya, paling lambat akhir Oktober," kata Fayez al-Sarraj dalam pidato yang disiarkan di televisi, sebagaimana dikutip Pikiranrakyat-Bekasi.com dari Antara, Kamis, 17 September 2020.

Merujuk pada pembicaraan yang diawasi oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) di Jenewa, ia mengakui bahwa ada kemajuan dalam menyetujui acara untuk menyatukan perpecahan di negaranya serta mempersiapkan pemilihan.

Sarraj diketahui sebagai Kepala Pemerintah Kesepakatan Nasional (GNA), yang berbasis di Tripoli.

Baca Juga: 47 Tahun Tinggal di Rumah Reyot, Akhirnya Nenek Hasnia Dapat Uluran Tangan Pemerintah

Sementara Libya timur dan sebagian besar wilayah selatan dikendalikan oleh Tentara Nasional Libya (LNA) pimpinan Khalifa Haftar.

Disebutkan bahwa perang saudara yang terjadi di negara itu telah menarik berbagai kekuatan regional dan internasional.

Uni Emirat Arab, Mesir, dan Rusia mendukung LNA sementara Turki mendukung GNA.

Baca Juga: Wanita Tertindih Lift hingga Tewas, Saksi Mata: Saya Mendengar Jeritan Histeris

Namun, kedua pihak di Libya terbentuk dari koalisi tidak stabil, yang mendapat tekanan sejak Turki membantu GNA menghentikanserangan LNA selama 14 bulan di Tripoli pada Juni lalu.

Sementara blokade ekspor energi yang dilakukan di LNA sejak Januari lalu telah membuat Libya kehilangan sebagian besar pendapatan.

Keadaan tersebut dinilai memperburuk standar hidup masyakat dan ikut memicu protes di kota-kota yang dikendalikan oleh kedua belah pihak.

Baca Juga: Ratusan Dokter Gugur Saat Perang Lawan Covid-19, IDI Desak Pemerintah Serius Bentuk Komite Kesehatan

Di Tripoli, serangkaian demonstrasi dikabarkan telah menyebabkan peningkatan ketegangan antara Sarraj dan menteri dalam negeri yang berpengaruh, Fathi Bashagha. Dia sempat diskors pada Agustus sebelum kembali menjalankan jabatanya.

Pengunduran diri Sarraj dinilai dapat menimbulkan pertikaian baru di antara tokoh-tokoh senior GNA lainnya.

Juga di antara kelompok-kelompok bersenjata dari Tripoli dan kota pesisir Misrata di Bashagha, yang memegang kendali di lapangan.

Baca Juga: Kasus Mutilasi di Apartemen Kalibata City Jakarta Selatan, Polisi: Ada Perempuan Juga

"Masalah menyangkut milisi akan lebih terlihat," kata Jalel Harchoui, seorang peneliti di Clingendael Institute.

Sarraj memimpin GNA sejak pemerintahan itu dibentuk pada 2015, sebagai hasil dari pernjian politik yang didukung PBB.

GNA bertujuan menyatukan dan menstabilkan Libya setelah terjadi kekacauan, yang diikuti dengan pemberontakan pada 2011 lalu, yang kemudian dikabarkan membuat Muammar Gaddafi terguling.

Baca Juga: Bukan Benci NKRI, Polisi Ungkap Motif Pelaku Pengguntingan Bendera Merah Putih di Sumedang

Terlepas dari keggalan dan kelemahan pemerintah yang dipimpinnya, Sarraj dipandang sebagai seorang pemimpin moderat yang nyaman diajak berurusan oleh sebagai seorang pemimpin moderat.

Yang dinilai nyaman diajak berurusan oleh sebagian kalangan faksi timur dan sekutu asing mereka, juga oleh para pemain internasional lainnya.***

Editor: Ikbal Tawakal

Sumber: Permenpan RB


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x