Arief Minta Prabowo Tak Diam Usai KPK Tangkap Edhy, Refly Harun Khawatir Korupsi Jadi Hal Biasa

27 November 2020, 19:02 WIB
Edhy Prabowo dan Istri, Iis Rosita Dewi saat foto bersama Prabowo Subianto. /@iisedhyprabowo/Instagram

PR BEKASI - Usai KPK menangkap Menteri Kelautan dan Perikanan (KKP) Edhy Prabowo atas dugaan kasus korupsi, kader Partai Gerindra Arief Poyuono meminta Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto bicara ke publik mengenai hal tersebut.

Menurutnya, Prabowo tak boleh diam karena seluruh kader Gerindra menunggu arahan dan perintahnya setelah Edhy menjadi tersangka korupsi izin ekspor benih lobster atau benur.

Mantan wakil ketua umum Gerindra itu mengatakan Prabowo harus segera bicara dan menyampaikan permintaan maaf ke publik atas kasus dugaan korupsi Edhy.

Baca Juga: Viral Video 'Serangan' ke Tri Rismaharini, Pusham: Ini Termasuk Ujaran Kebencian

Poyuono percaya pria yang kini menjabat sebagai menteri pertahanan itu bukan sosok yang pengecut.

Menurutnya, pernyataan Prabowo soal Edhy sangat penting karena menyangkut masa depan Gerindra yang telah dibangun dengan susah payah hingga menjadi partai terbesar kedua di Indonesia.

Pakar hukum tata negara Refly Harun menilai kasus korupsi oleh orang dekat Prabowo itu tidak akan mengakhiri keinginan Prabowo untuk menjadi presiden tahun 2024.

Baca Juga: Habib Rizieq Masuk Bursa Capres 2024, Begini Ternyata Rencana FPI dalam Mempersiapkan Pilpres 2024

"Dianggap menamatkan keinginan Prabowo menjadi presiden tahun 2024, rasanya nggak juga, ini memang bukan sesuatu yang membahagiakan tetapi sesuatu yang memprihatinkan, karena hampir semua partai politik di Indonesia terjerat kasus korupsi," ucapnya.

Ia mengambil contoh partai Golkar yang dua tahun yang lalu ketua umumnya, Setya Novanto terjerat kasus korupsi

"Tapi faktanya Golkar masih nomor dua dari sisi perolehan kursi partai politik dan nomor tiga dari perolehan suara," tutur Refly seperti dikutip Pikiranrakyat-Bekasi.com dari kanal YouTube Refly Harun, Jumat, 27 November 2020.

Baca Juga: Cek Fakta: Jokowi dan Ahok Dikabarkan Masuk Daftar 5 Besar Pemimpin Ditakuti Dunia

Sehubungan dengan hal tersebut, Refly khawatir kasus korupsi akan menjadi hal yang lumrah bagi masyarakat Indonesia.

"Misalnya, tidak ada punishment katakanlah terhadap kader-kader partai yang korupsi, termasuk juga ya mungkin Capres dari partai tersebut, ini kan memprihatinkan sesungguhnya," ucapnya.

"Karena kalau tidak ada punishment atau social punishment ini ya tidak akan ada efek jera untuk para kader-kader partai politik yang ingin melakukan tindak pidana korupsi maupun tokoh politik karena ternyata masyarakat melihatnya biasa-biasa saja tidak ada gempa bumi," sambung Refly Harun.

Baca Juga: Viral Ibu-ibu Marah dan Takbir Hindari Tilang Polisi, Budiman Sudjatmiko: 'Mengencingi' Hukum

Padahal menurut Refly di negara lain jika ada kader partai apalagi menteri yang melakukan tindak pidana korupsi terkesan heboh sekali dan memang hukuman sosialnya luar biasa.

"Tapi kalo di kita kok dianggap biasa-biasa saja, persoalan besar ini di republik ini, karena itu sekali lagi untuk memberantas korupsi kita tidak bisa mengandalkan adanya social punishment," ucapnya.

Faktanya, tutur Refly, di beberapa tempat, mereka yang sudah divonis melakukan tindak pidana korupsi masih bisa menang bahkan ada yang menang saat ada di dalam rumah tahanan.

Baca Juga: Bandingkan Korupsi e-KTP dan KKP, Refly Harun: Kasus Kecil Diuber-uber karena Ada Target Politiknya

"Karena kita tahu dalam konteks Pilkada misalnya seseorang yang dinyatakan sebagai tersangka ya tidak ada masalah untuk kontes di dalam Pilkada, sebagai terdakwa pun tidak ada masalah juga, kalau sudah divonis nanti akan dilihat, ketika dia menang dia dilantik terlebih dahulu setelah dilantik dia akan diberhentikan sementara," ucapnya.

"Kalau bandingnya dia menang, dia akan diaktifkan lagi sebagai kepala daerah, kalau kemudian di kasasi kalah lagi, ya dinonaktifkan, pemberhentian tetap," sambung Refly.

Itulah salah satu aturan yang membuat Refly khawatir dengan keseriusan hukuman atas tindak pidana korupsi.

Baca Juga: Balas Nyanyian 'Hancurkan Risma Sekarang Juga', Kordinator Aksi: Itu Ibumu, Juga Ibuku

"Penetapan tersangka kadang-kadang terlalu mudah, kadang-kadang malah case-nya gak ada, jadi itulah diskriminasi dalam penegakan hukum di Indonesia, kasus besar di depan mata tidak ditindak lanjuti, kasus kecil karena ada target politiknya terus diuber-uber dan dipermasalahkan," tuturnya.

Refly mengaku bahwa hal tersebut terjadi kepada temannya sendiri ketika sedang berlaga di pemilihan Gubernur.

"Ternyata kasus 5 tahun lalu, 2015 diungkap lagi karena memang status tersangkanya tidak pernah dicabut walaupun case-nya tidak merugikan negara, bukan kasus korupsi dan lain sebagainya," ucapnya.

Baca Juga: Arie Kriting Ungkap Kekesalannya Usai Sufmi Dasco Sebut Kasus Edhy Prabowo Adalah Musibah

"Tapi saya selalu mengatakan korupsi adalah korupsi, jadi kalau anda memang korupsi dan anda kebetulan dipilih untuk diinvestigasi ya begitulah nasibnya, makannya pesan moralnya jangan korupsi dan penegak hukum harus profesional," sambung Refly.

Menurut Refly, penegak hukum terhadap kasus korupsi tidak boleh dijadikan alat dari kekuasaan untuk menembak dan membidik orang-orang tertentu.

"Orang-orang yang sebenarnya tidak jahat tidak melakukan korupsi, hanya melakukan inovasi, bahkan tidak mengambil sepeser pun uang negara ke dalam dirinya, tapi dibidik dan dijadikan tersangka." ucapnya.***

Editor: Ikbal Tawakal

Tags

Terkini

Terpopuler