Tembak Mati 6 Laskar FPI, Amnesty Internasional Desak Polri Transparan Soal Penggunaan Senpi

8 Desember 2020, 06:12 WIB
Amnesty Internasionl Indonesia desak polri bersikap transparan terkait insiden penembakan mati enam simpatisan FPI. /ANTARA/Sigid Kurniawan/

PR BEKASI – Amnesty Internasional Indonesia angka suara terkait kasus penembakan enam laskar FPI oleh aparat kepolisian di Tol Cikampek, Jawa Barat, Senin, 7 Desember 2020.

Direktur Eksekutif Amnesty Internasional, Usman Hamid mengatakan, polisi harus transparan dalam mengungkap kasus tersebut. Terutama, menyingkap penyebab terjadinya penembakan terhadap enam laskar FPI yang tewas.

"Jika polisi yang terlibat dalam insiden itu melanggar protokol tentang penggunaan kekuatan dan senjata api, mereka harus diungkap secara terbuka dan diadili sesuai dengan hukum dan hak asasi manusia," kata Usman Hamid, dikutip Pikiranrakyat-Bekasi.com dari situs resmi Amnesty Internasional Indonesia, Selasa, 8 Desember 2020.

Baca Juga: Seperti Fadli Zon, Mardani Ali Sera Kesal Diteror Nomor Asing: Siapa pun, Cara Ini Tidak Elok!

Usman Hamid menyebutkan bahwa polisi harus menjelaskan insiden tersebut agar dapat mengidentifikasi apakah penggunaan senjata api itu dibenarkan.

"Harus ada penjelasan tentang apakah petugas yang terlibat dalam insiden penembakan itu telah secara jelas mengidentifikasi diri mereka sebagai aparat penegak hukum sebelum melepaskan tembakan dan apakah penggunaan senjata api itu dibenarkan" ujar Usman Hamid.

Lebih lanjut, Usman menuturkan bahwa polisi seharusnya hanya dibolehkan untuk menggunakan kekuatan atau kekerasan, terutama dengan senjata api, sebagai upaya terakhir.

Baca Juga: Polisi Tembak Mati 6 Laskar FPI, Wayan Sudirta: Jangan Terprovokasi, Jangan Buru-buru Menyimpulkan

"Itu pun harus merupakan situasi luar biasa untuk melindungi keselamatan dirinya dan atau orang lain. Jika tidak, maka tindakan itu bisa tergolong unlawful killing," tutur Usman.

"Penggunaan kekuatan, kekerasan, dan senjata api yang melanggar hukum oleh polisi tidak boleh dibenarkan, terlebih lagi bila digunakan dalam kasus yang terkait dengan pelanggaran protokol kesehatan, yang seharusnya tidak berakhir dengan kekerasan," sambungnya.

Oleh karena itu, Usman mendesak Komnas HAM dan Komisi III DPR RI terlibat aktif mengawasi kepolisian.

Baca Juga: Simpan Uang Rp1 Miliar di Kaleng Susu, Nenek Ini Menangis Usai Uangnya Lenyap Dimakan Rayap

"Komnas HAM harus ikut mengusut. Komisi III DPR RI juga perlu aktif mengawasi dan mengontrol pemerintah dan jajaran kepolisian," ujar Usman Hamid.

Hingga saat ini, kasus ini masih dalam penyelidikan dan masih menjadi sorotan publik. Apalagi mengenai aturan penggunaan senpi oleh polisi dalam kasus ini.

Untuk diketahui, penggunaan kekuatan oleh aparat penegak hukum di Indonesia diatur lebih lanjut oleh Peraturan Kapolri tentang Penerapan Prinsip dan Standar Hak Asasi Manusia dalam Pelaksanaan Tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia (No. 8/2009).

Baca Juga: Kabar Baik! Tarif Listrik Tahun Depan Tidak Akan Naik, Kementerian ESDM: Program Subsidi Dilanjutkan

Peraturan Polisi tentang Penggunaan Kekuatan dalam Tindakan Kepolisian (No. 1/2009) menetapkan bahwa penggunaan senjata api hanya diperbolehkan jika sangat diperlukan untuk menyelamatkan nyawa manusia dan penggunaan kekuatan secara umum harus diatur dengan prinsip-prinsip legalitas, kebutuhan, proporsionalitas, kewajaran dan mengutamakan tindakan pencegahan.***

 

Editor: Ikbal Tawakal

Sumber: Amnesty Internasional Indonesia

Tags

Terkini

Terpopuler