Melulu Lihat dari Sudut Pekerja, Ekonom: RUU Cipta Kerja harus Dilihat dari Perspektif Pencari Kerja

20 September 2020, 19:16 WIB
Ilustrasi para pencari kerja. /DOK. PIKIRAN RAKYAT/

PR BEKASI – Polemik RUU Cipta Kerja sebenarnya dapat dihindari, apabila melihatnya dari perspektif atau kacamata pencari kerja.

Hal tersebut diungkapkan oleh Pengamat Ekonomi, Arianto Patunru dalam diskusi "Menyoal Konflik dalam RUU Cipta Kerja dan Dampaknya bagi Segala Sektor", Minggu, 20 September 2020.

"Selama ini yang banyak didengar hanya pendapat dari pekerja, seharunya pendapat dari pencari kerja juga mendapat tempat yang sama," tuturnya, dikutip Pikiranrakyat-Bekasi.com dari Antara.

Baca Juga: Hasrat Balas Dendam Masih Ada Usai Kematian Qassem Soleimani, Iran Ancam Bunuh Duta Besar AS

Dalam diskusi yang diselenggarakan oleh Forum Mahasiswa Ciputat, Arianto mengatakan apabila aturan ketenagakerjaan hanya dilihat dari sisi pekerja saja, maka yang dipikirkan hanyalah bagaimana memaksimalkan kepastian kerja (job security) bagi para pekerja.

"Supaya masyarakat mudah mendapat pekerjaan, maka kita perlu masuk dalam cara pandang pihak yang membutuhkan tenaga kerja, yakni pelaku usaha. Kita perlu menggunakan kacamata mereka," ungkapnya.

Menurut Arianto, pada sisi pekerja, terdapat beberapa faktor yang dipertimbangkan, yaitu gaji, berapa lama pekerja itu bisa bekerja, serta tunjangan. Misalnya pada aspek kesehatan, rumah, dan seterusnya.

Baca Juga: Tindak Lanjut Kasus Pelecehan di Bandara Seokarno-Hatta, Polisi Akan Periksa Korban di Bali

Besarnya pesangon adalah salah satu persoalan yang banyak dikeluhkan oleh banyak pengusaha.

Hal tersebut membuat iklim investasi kurang ramah bagi para pelaku usaha, untuk menanamkan modalnya.

Tingkat pesangon di Indonesia adalah salah satu yang tertinggi di dunia, lebih tinggi dari negara-negara tetangga.

Baca Juga: Seakan Benar Ada di Planet Lain, Netizen Heboh Turun Hujan di Bekasi Hari Ini

"Tinggi dalam pengertian jumlah bulan gaji untuk pesangon," ucap Arianto.

Dia mengatakan, dari hasil studi yang pernah dilaksanakan di kawasan industri Jakarta Timur, terungkap bahwa mayoritas pengusaha bukan lagi mempersoalkan masalah upah dalam aktivitas bisnisnya, tetapi bagaimana merekrut dan memberhentikan karyawan.

Arianto juga melihat terdapat persoalan pada aspek kompensasi pada para pekerja, karena itu dia mengusulkan agar dalam RUU Cipta Kerja, jumlah pesangon dikurangi.

Baca Juga: Tiga Remaja Berniat Threesome di Kandang Ayam, Digerebek Warga Namun Berakhir Damai

Namun, perlu ditetapkan unemployment benefit atau tunjangan pemutusan hubungan kerja yang layak.

Dia pun menyimpulkan bahwa RUU Cipta Kerja sudah bagus, karena berusaha melihat persoalan secara keseluruhan.

"Sehingga di sana ada ruang negosiasi. Ada severance payment sangat tinggi, tapi job security kurang. Tunjangan pekerja dan kemudahan mendapatkan asuransi seperti BPJS kurang jelas," tutur Arianto.

Baca Juga: Ungkap Siap Jadi Presiden Indonesia di Medsosnya, Dokter Tirta: Semua Orang Boleh Mencoba Bukan?

Dia menambahkan bahwa seharusnya pembahasan tentang RUU Cipta Kerja juga lebih difokuskan pada kepastian berusaha.

"Akhir tahun 2019, Pak Presiden sampai kecewa karena 33 perusahaan hengkang dari Tiongkok, tak ada satu pun yang ke Indonesia," ucap Arianto.

"Itu karena mereka lebih memilih Vietnam, Thailand, dan negara-negara tetangga lain, yang kepastian berusahanya lebih baik dan sistemnya lebih transparan daripada Indonesia," ungkapnya melanjutkan.

Baca Juga: Budaya Korea Semakin Digandrungi Milenial Indonesia, Ma'ruf Amin: Harus Kita Manfaatkan Ini

Menurut Arianto, ide dasar dari RUU Cipta Kerja adalah menyederhanakan peraturan sehingga memudahkan urusan bisnis.

"Dampak dari penyederhanaan aturan itu, salah satunya adalah investasi semakin bertambah dan iklim berbisnis jadi lebih baik dari sebelumnya." tuturnya menegaskan.***

Editor: Ikbal Tawakal

Sumber: Permenpan RB

Tags

Terkini

Terpopuler