Kasus Dugaan Oknum Polisi Aniaya Wartawan saat Liput Demonstrasi, PWI Minta Kapolri Usut Tuntas

10 Oktober 2020, 10:47 WIB
Ketua Umum Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Atal S. Depar, meminta Kapolri usut tuntas kasus oknum polisi yang menghambat kerja wartawan saat peliputan demo penolakan UU Cipta Kerja. /ANTARA/Dewanto Samodro/

PR BEKASI – Kapolri Jenderal Pol. Idham Azis diminta untuk mengusut tuntas dan melakukan langkah hukum terhadap oknum polisi yang sudah menghambat dan mengahalangi, tugas peliputan aksi unjuk rasa oleh para wartawan.

Penghambatan dan penghalangan tersebut dilakukan dengan merusak, merampas, dan menganiaya wartawan yang meliputi unjuk rasa Undang-Undang Cipta Kerja.

Hal itu disampaikan Ketua Umum Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Atal S. Depari, dalam keterangannya di Jakarta, Sabtu, 10 Oktober 2020.

Baca Juga: Respons Gelombang Penolakan Omnibus Law, Ketua MPR Dorong Pemerintah Sosialisasikan Isi UU Ciptaker

"Termasuk memberikan sanksi kepada oknum petugas yang sengaja menghambat kemerdekaan pers secara terang-terangan tersebut," tuturnya, dikutip Pikiranrakyat-Bekasi.com dari Antara.

Atal menegaskan, PWI Pusat menyayangkan tindakan kekerasan oleh pihak kepolisian terhadap para wartawan yang meliputi unjuk rasa penolakan UU Cipta Kerja.

Padahal, wartawan dalam menjalankan tugas dan peranan profesinya, dilindungi oleh Undang-Undang Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers.

Baca Juga: Ada Poin Positif dan Bagus Omnibus Law, Pengamat: Sangat Disayangkan Tak Dijelaskan Sejak Awal

Ditegaskan pula, UU Pers berlaku secara nasional untuk seluruh warga negara Indonesia, bukan hanya untuk pers itu sendiri.

Dengan begitu, semua pihak, termasuk petugas kepolisian juga harus menghormati ketentuan-ketentuan dalam UU Pers.

"Pers bekerja berpedoman pada kode etik jurnalistik, baik kode etik jurnalistik masing-masing organisasi, maupun kode etik jurnalistik yang ditetapkan Dewan Pers. Pers bekerja menurut peraturan-peraturan yang dikeluarkan oleh Dewan Pers," tutur Atal S. Depari.

Baca Juga: Kekerasan Anak Meningkat Selama Pandemi Covid-19, Kak Seto: Kendalikan Amarah dengan Cara Cerdas

Oleh karena itu, pihak manapun yang menghambat dan menghalang-halangi fungsi dan kerja pers, dianggap sebagai perbuatan kriminal dan diancam hukuman pidana 2 tahun penjara.

Dalam Peraturan Dewan Pers, telah diatur terhadap wartawan yang sedang melaksanakan tugasnya. Alat-alat kerja tidak boleh dirusak, dirampas, dan kepada wartawan yang bersangkutan tidak boleh dianiaya, apalagi sampai dibunuh.

Menurutnya, jika wartawan yang meliput aksi protes UU Ciptaker sudah menunjukkan identitas dirinya, dan melakukan tugas sesuai dengan kode etik jurnalistik, seharusnya mereka dijamin dan dilindungi secara hukum.

Baca Juga: Sebut Birokrasi Dapat Pesangon Sangat Panjang, Hotman Paris: Persingkat, Kalau Mau Tolong Buruh

"Maka, tindakan oknum polisi yang merusak dan merampas alat kerja wartawan, termasuk penganiayaan dan intimidasi ketika meliput demonstrasi anti RUU Cipta Kerja, merupakan suatu pelanggaran berat terhadap kemerdekaan pers," tuturnya.

Dia menilai perbuatan para oknum polisi itu bukan saja mengancam kelangsungan kemerdekaan pers, melainkan juga merupakan tindakan yang merusak sendi-sendi demokrasi. Hal itu merupakan pelanggaran sangat serius.

Sekretaris Jenderal (Sekjen) PWI Pusat Mirza Zulhadi pun mengatakan bahwa kekerasan terhadap wartawan yang meliput unjuk rasa penolakan RUU Cipta Kerja bukan hanya terjadi di Jakarta.

Baca Juga: Pembahasan Omnibus Law Dinilai Tertutup, Pengamat: Jokowi Harus Perbanyak Dialog dengan Masyarakat

Berdasarkan laporan dari PWI di daerah, hal yang sama juga terjadi di Medan, Lampung, Bandung, dan beberapa provinsi lainnya.

Oleh karena itu, Mirza Zulhadi meminta pimpinan Polri memberikan pembinaan, pelatihan, dan pendidikan kepada polisi yang bertugas di lapangan mengenai bagaimana seharusnya menghadapi pers.

Agar paham bagaimana mengadapi pers di lapangan, dan tidak main hakim sendiri, yang merusak sendi-sendi demokrasi.***

Editor: Ikbal Tawakal

Sumber: ANTARA

Tags

Terkini

Terpopuler