Suara Kritis Dibungkam, SAFEnet: Bangkitnya Otoritarian Digital

24 Oktober 2020, 08:52 WIB
Ilustrasi Media Sosial /Gerd Altmann/Pixabay/

PR BEKASI – Pelanggaran terhadap hak-hak digital di Indonesia semakin banyak terjadi. Hal ini dipicu berbagai faktor yang seharusnya suara kritis tidak boleh dibungkam mengingat Indonesia adalah negara demokrasi yang mengizinkan warganya untuk berpendapat dengan bebas dan bertanggung jawab.

Pelanggaran ini semakin marak dengan adanya Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) yang menjadikan berbagai pihak dengan mudah mengkriminalkan seseroang.

Hal ini mulai terjadi semenjak sengketa Pilpres 2019 dan alasan lain seperti konflik sosial dan lingkungamn, terutama di daerah-daerah.

Baca Juga: SAFEnet Kecam Pembungkaman Akun Twitter Pengkritik UU Cipta Kerja

Warga dikriminalkan atau dilanggar ha katas rasa amannya disebabkan aktivitasnya dalam mengawasi layanan publik.

Peningkatan kriminalisasi warga terkait aktivitasnya selama di internet pada 2019, dikutip Pikiranrakyat-Bekasi.com dari SAFEnet, Sabtu, 24 Okotober 2020, terus berulang dan pengulangan lain adalah adanya pembungkaman terhadap suara kritis.

Suara kritis yang dimaksud adalah yang disampaikan oleh warga dala mengekspresikan dan memberi pendapat melalui internet, terutama media sosial.

Baca Juga: Cegah Penularan Covid-19, Ahli Sarankan untuk Tidak Lupa Menggosok Gigi Sebelum Keluar Rumah

"Aktivis dan jurnalis menjadi kelompok paling banyak menjadi korban, selain munculnya korban-korban baru terutama di kalangan akademisi," kata SAFEnet.

SafeNet menyatakan pihaknya terus berjuang untuk mengenalkan isu hak-hak digital dan berharap situasi hak digital ini bisa menjadi alat advokasi.

Alat advokasi ini diharapkan untuk mendorong negara agar bisa mewujudkan pemenuhan dan perlindungan hak-hak digital saat ini.

Baca Juga: Jelang Akhir Tahun, Sri Mulyani Sebut Nominal insentif Perpajakan Masih di Bawah 30 Persen

SAFEnet mencatat berbagai pelanggaran hak digital warga melalui laporan tahunan dalam rangka program nya untuk mengenalkan situasi hak digital.

Dalam laporan, tercatat terjadi tiga kali pemadaman internet (internet shutdown) selama 2019 sepihak, yaitu di Jakarta dan beberapa daerah lain di Indonesia.

Terjadi pelambatan atau pemblokiran akses internet di Jakarta dan sebagian wilayah lain di Indonesia pada Mei 2019 terkait dengan ujuk rasa menyikapi hasil pemilihan presiden 2019.

Baca Juga: Ajak Masyarakat Terus Suarakan Gerakan Penolakan Omnibus Law, Haris Azhar: Cobalah Cara Lain

Selama tiga hari pada Mei 2019 itu pemerintah resmi melakukan pemadaman internet atau istilahnya Internet Throttling untuk 'mencegah hoaks' dan 'langkah antisipasi konflik agar tidak meluas' dan 'menjaga ketertiban dan keamanan'.

Pemadaman internet menjadi pola baru pemerintah Indonesia setelah sebelumnya pemerintah lebih banyak memblokir akses pada situs atau aplikasi tertentu. Kebijakan ini adalah pola baru untuk melanggar hak atas internet atas nama keamanan nasional sebagaimana telah terjadi di Rakhine (Myanmar), Kashmir (India), dan Catalan (Spanyol).

Pengguna internet pun saat ini menghadapi ancaman yang difasilitasi oleh pasal-pasal karet dalam UU ITE Pendokumentasian sepanjang 2019 yang menunjukkan bahwa kriminalisasi terhadap ekspresi marak terjadi.

Baca Juga: Telusuri Klaim Mensesneg Soal Beda Jumlah Halaman UU Cipta Kerja, ICW Temukan Kejanggalan

Laporan yang masuk ke SAFEnet mencatat sebanyak 24 kasus pemidanaan dengan UU ITE, jumlah kasus ini menurun yang mana sebelumnya berjumlah 25.

Dari segi latar belakang, jurnalis dan media masih menjadi korban terbanyak dalam kriminalisasi ini sebanyak 8 kasus yang terdiri atas 1 kasus media dan 7 kasus jurnalis.

Dalam dua tahun terakhir, jumlah media dan jurnalis yang dipidanakan cenderung lebih tinggi dibanding tahun-tahun sebelumnya.

Baca Juga: Bahas Perdamaian dan Kemanusiaan di Vatikan, Paus Fransiskus Titipkan Pesan Penting ke Jusuf Kalla

Korban terbanyak kedua adalah aktivis dan warga sebanyak 5 kasus kemudian tenaga pendidik dan artis masing-masing 3 kasus.

Dari aspek pasal pemidanaan, Pasal 27 ayat 3 UU ITE (defamasi) yang paling banyak digunakan untuk melaporkan, yakni sebanyak 10 kasus.

Lalu disusul Pasal 28 ayat 2 (kebencian) sebanyak 8 kasus. Penggunaan dua pasal sekaligus juga muncul yaitu, Pasal 27 ayat 1 (pornografi) dengan Pasal 27 ayat 3 sebanyak 3 kasus. Terakhir, penggunaan Pasal 27 ayat 1 dengan Pasal 28 ayat 2 terdapat 1 kasus.

Baca Juga: Muncul di Masa Pandemi Covid-19, Ustaz Yusuf Mansur Ajak Umat Islam Jalankan Ibadah 'Baru'

Dua fakta tersebut menunjukkan bahwa keterkaitan jurnalis, aktivis, dan warga kritis paling banyak dikriminalisasi dengan menggunakan pasal-pasal karet yang cenderung multitafsir dengan tujuan membungkam suara-suara kritis.***

Editor: Ikbal Tawakal

Tags

Terkini

Terpopuler